Martapura (ANTARA) - Kepolisian Resor Banjar, Polda Kalimantan Selatan sosialisasikan pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sehingga tidak terjadi di wilayah hukum kepolisian setempat.
Kapolres Banjar AKBP Ifan Hariyat di Kota Martapura, Sabtu mengatakan, sosialisasi dilakukan melalui media sosial dan publikasi apabila terjadi kasus TPPO di Kabupaten Banjar atau wilayah hukum polres.
"Sosialisasi dilakukan mendukung pencegahan dan penanganan kasus TPPO melalui media sosial maupun publikasi kasus," ujar kapolres dalam keterangan tertulis disampaikan Kasi Humas Polres AKP Suwarji.
Dikatakan Suwarji, di Kabupaten Banjar atau wilayah hukum Polres Banjar selama kurun waktu lima tahun sejak tahun 2019 hingga 2023, hanya satu kali terjadi kasus TPPO pada 2022 dan 2023 nihil kasus.
Suwarji menyebutkan, sesuai pasal yang diatur dalam TPPO, setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, tujuan mengeksploitasi orang di wilayah negara Republik Indonesia.
Tindakan itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000(enam ratus juta rupiah).
"Kami mengimbau masyarakat lebih berhati-hati dan waspada terhadap orang yang tidak dikenal. Jangan mudah dibujuk rayu dan iming-iming hadiah atau pemberian sesuatu yang berujung perbuatan tidak menyenangkan dilakukan oknum atau penjahat TPPO baik secara langsung maupun melalui media sosial," pesannya.
Baca juga: KemenPPPA: Pulau Jawa tertinggi kasus perdagangan orang
Diketahui, TPPO adalah singkatan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pemberantasan kasus TPPO di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007, TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang (UU), ini berkaitan dengan kasus perdagangan orang.
Dasar hukum terkait TPPO di Indonesia adalah UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan pelaksanaannya.
Sementara ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam UU Nomor 21 Tahun 2007.
Adapun yang dimaksud sebagai korban TPPO adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka memberantas TPPO. Salah satunya dengan membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO adalah lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Lembaga ini berada di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pada tingkat pusat, Gugus Tugas Pusat mempunyai tugas yakni mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang.
Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama, baik kerja sama nasional maupun internasional dan memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; dan Melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
Baca juga: Menkumham dorong upaya kolektif atasi perdagangan orang