Banjarbaru (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarbaru Ahmad Nur Irsan Finazli mendorong pemerintah kota "bersuara" terkait draft RUU Sisdiknas Kemendikbudristek yang menghapus penyebutan madrasah.
"Pemkot melalui Disdik hendaknya bersuara karena Banjarbaru Kota Pendidikan, banyak tokoh pendidikan dan status ibukota Provinsi Kalsel sebagai representasi kemajuan pendidikan religius," ujarnya, Sabtu.
Ia sangat mendukung penolakan disampaikan sejumlah stakeholders pendidikan nasional tergabung dalam Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) di antaranya Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
Kemudian, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar PGRI, Persatuan Tamansiswa, dan Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU).
"UUD 1945 jelas eksplisit menyebutkan tujuan pendidikan nasional terkait agama, dan terminologi keagamaan, serta pentingnya satuan pendidikan keagamaan seperti madrasah dalam kontribusinya yang panjang terhadap pendidikan nasional," ucapnya.
Pengamat pendidikan itu mengingatkan, jika terjadi penghapusan madrasah dalam RUU Sisdiknas yang beredar tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5, sehingga wajar ditolak masyarakat.
"Seharusnya Kemendikbudristek melalui RUU Sisdiknas memayungi, mengakui, dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang diakui, berkembang bahkan diterima masyarakat dan negara, bukan justru menghapuskan institusi madrasah yang dapat memperuncing diskriminasi antar satuan pendidikan yang ada," tegasnya.
Ia menganggap, tidak disebutkannya madrasahb adalah langkah mundur, kembali ke masa Orde Baru. Dalam UU Sisdiknas waktu itu, di UU No. 2 Tahun 1989, madrasah tidak dimasukkan menjadi bagian dari Satuan Pendidikan Nasional.
Ketika memasuki masa reformasi, masalah tersebut sudah dikoreksi dengan hadirnya UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, dan madrasah dinyatakan sebagai bagian dari pendidikan formal di Indonesia.
"Jika alasan penghapusan agar penamaan jenjang pendidikan menjadi lebih fleksibel, itu hanya dibuat-dibuat dan menunjukkan tidak memahami secara benar soal tujuan pendidikan dalam konstitusi dan juga sejarah UU soal Sistem Pendidikan Nasional," ujar dia.
Ditambahkan, UU Sisdiknas sekarang, yakni UU No. 20 Tahun 2003 sudah sesuai dengan konstitusi, mengakui eksistensi madrasah, dan karenanya memasukkan unsur "bentuk lain yang sederajat" dalam tiap pasal mengenai bentuk pendidikan.
"Di tengah beragam persoalan pendidikan yang harus diselesaikan, tidak ada urgensi pengubahan nama satuan pendidikan dan saya perlu mengawal "gaung" dari pusat yang harus sampai ke daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota, agar Kemendikbudristek kembali fokus ke masalah yang urgen, yaitu mengatasi dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap pendidikan dan dunia pendidikan kita," demikian Irsan.