Barabai (ANTARA) - Warga Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel Tahmidillah (41) sukses bisnis ulat bumbung atau ulat bambu yang bernama ilmiah Erionota thrax. Dia menjadi distributor se-Banua Enam (Kabupaten HST, HSS, HSU Tabalong, Balangan dan Tapin) kepada penjual-penjual kecil.
Kalau di daerah lain, ulat bambu biasanya dijadikan pakan untuk burung, ikan dan reptil. Namun di wilayah Kalsel lebih banyak digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan.
Ulat bumbung ini juga paling dicari di kalangan pemancing. Tapi ulat ini sulit dibudidayakan. Seperti Tahmidillah, Ia mendatangkan dari Pulau Jawa dan Sumatera, lalu dijual kembali kepala penjual umpan pancing.
Di wilayah Banua Anam, ulat bambu menjadi primadona bagi pemancing untuk dijadikan umpan. Biasanya ulat ini untuk memancing ikan haruan (gabus) dan papuyu (betok).
Namun, di balik itu semua, ternyata budidaya ulat bumbung sangat susah. Di wilayah Amuntai, Kandangan, Balangan, Tanjung, Tapin termasuk HST belum ada yang berhasil mengembangkan.
Karena banyak dicari, akhirnya orang lebih memilih mendatangkan umpan ini dari Pulau Jawa dan Sumatera. Tahmidillah sendiri mengambil suplay ulat bumbung dari Bandung, Semarang dan Surabaya.
Menurutnya, sekali memasok biasanya sebanyak 2 ribu hingga 4 ribu ruas (bumbung). Banyaknya ruas yang dia minta disesuaikan dengan musim. Jika musim hujan biasanya dalam satu bulan bisa dua kali pengiriman. Puncaknya di pertengahan tahun, dalam satu minggu bisa dua kali pengiriman.
Dia sudah menggeluti usaha ini sejak 2014 hingga sekarang. Tak tanggung-tanggung, warga Desa Pajukungan, Kecamatan Barabai ini menjadi satu-satunya distributor ulat bumbung di wilayah Banua Enam. "Saya jual partai kepada para penjual umpan dan pakan ikan," ujarnya.
Dari hasil usaha itu, pada tahun 2021 saja dia bisa menjual 80 ribu ruas. Dia menjual ulat bumbung per ruas ke pengecer dengan harga antara Rp5 Ribu sampai Rp11 ribu. Dari harga ini untung yang didapat rata-rata Rp 1.000 rupiah. Isi ulat dalam bumbung antara 20, 25 sampai 30 ekor. "Harga dan jumlah ulat mengikuti cuaca, kalau musim hujan pasti lebih murah dan banyak," kata Tahmdillah.
Menurutnya, bisnis ulat bumbung ini menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan. Tentunya jika sudah memiliki pasarnya masing-masing.
"Saya dulu merintis dari awal. Sempat tertipu oleh pemasok. Sudah kirim uang tapi barang tidak dikirim. Begitulah siklus berbisnis ada untung dan rugi," katanya menceritakan.
Ia pun pernah mencoba membudidayakan sendiri, namun srlalu gagal dan menemukan caranya dan ada kemungkinan siklus nya berbeda di Kalsel dengan Pulau Jawa, jadi ulat bambu tidak bisa dibudidayakan di banua.
"Pemasok saya itu juga tidak membudidayakan. Tapi mereka mencari ke hutan. Saya belum menemukan pemasok yang ulat bumbung nya dari hasil budidaya," ucapnya.
Menurutnya, kalau pembudidaya sampai berkembang biak belum pernah tahu. Tapi kalau membesarkan ulat bumbung ada.
Karena ulat bumbung ini musiman, Tahmidillah tak hanya memasok dari Pulau Jawa. Dia juga memasok ulat dari Pulau Sumatera. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ketersediaan ulat yang habis ketika musimnya berganti.
"Kalau di Pulau Jawa itu dari bulan Februari-September. Kemudian selanjutnya disambung ulat dari Sumatera," ungkapnya.
Secara kualitas, tak ada bedanya ulat dari Jawa dan Sumatera, yang membedakan hanya soal jarak dan biaya pengiriman. Jika ulat dari Jawa bisa dikirim lewat jalur laut dan darat, waktunya juga paling lama sehari.
Sedangkan dari Sumatera harus pakai kargo pesawat. Biayanya lebih mahal. "Karena pengiriman lama, kebiasaan ulatnya lemas, karena lama di perjalanan. Itu yang membedakan," pungkasnya.
Keuntungan per bulan menurutnya, kalau musim memancing bisa mencapai Rp10 juta per bulan, namun jika tidak musim pancing kisaran lima sampai enam juta per-bulan.
Kuasai pasar se-Banua Enam, warga HST ini sukses bisnis ulat bumbung
Selasa, 22 Februari 2022 14:07 WIB