Banjarbaru (ANTARA) - Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian mengenalkan konsep "Smart Farming Lahan Rawa" ke petani binaannya di Desa Puntik Dalam, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
"Kami dorong petani yang sedang melaksanakan Program Demfarm dapat memahami konsep cerdas dalam bertani di lahan rawa ini," terang Kepala Balittra
Ir. Hendri Sosiawan, CESA di Banjarbaru, Rabu.
Menurut dia, pengembangan pertanian di lahan rawa membutuhkan konsep cerdas atau dikenal dengan istilah "smart farming" atau precision agriculture.
Dimana penerapan pertanian cerdas (smart farming) di lahan rawa yang merujuk pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bidang pertanian diyakini menjadi jawaban dari kebutuhan pangan global.
"Tujuan utama penerapan teknologi ini untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil baik kualitas maupun kuantitas serta efisiensi penggunaan sumber daya yang ada di lahan rawa," tuturnya.
Hendri menjelaskan, smart farming merupakan model pengelolaan lahan rawa berbasis teknologi modern yang adaptif dengan prinsip pertanian digital melalui penerapan peralatan presisi, sensor, Internet of Things (IoT) untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga meminimalkan dampak lingkungan.
"Modern, keberlanjutan (sustainability), ketertelusuran (traceability) merupakan indikator smart farming lahan rawa," timpalnya.
Diakui Hendri, masyarakat di lahan rawa belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran teknologi modern. Petani memilih cara tradisional dibanding peralatan teknologi canggih.
Dengan alasan keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka karena profesi petani di lahan rawa masih didominasi usia lebih dari 40 tahun dengan taraf pendidikan yang hanya mandek di Sekolah Dasar (SD). Bahkan tak sedikit yang tidak mengenyam bangku sekolah.
Padahal, tambah Hendri, petani lahan rawa harus memiliki 4C yaitu critical thinking, creativity, communication, dan collaboration untuk menerapkan konsep smart farming, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan pertanian di lahan rawa.
"Smart farming secara sederhana bisa diartikan sebagai precision agriculture atau bertani yang tepat, karena dapat mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan dari setiap tanaman," paparnya.
Dari pengidentifikasian tersebut, petani jadi lebih paham tindakan apa yang harus dilakukan pada setiap tanamannya. Tanaman mana yang membutuhkan air, tanaman mana yang harus diberikan pestisida, dan tanaman mana yang harus dipupuk.
Adapun keuntungan optimum, keberlanjutan, keamanan lingkungan menjadi tujuan dari penerapan teknologi smart farming di lahan rawa dengan tetap menyesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat setempat.
Salah satu yang wajib diperhatikan petani yaitu jaringan tata air pada lahan rawa. Fungsinya antara lain saluran drainase untuk membuang kelebihan air dan membuang unsur beracun yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman.
Kemudian jaringan irigasi untuk menyuplai kebutuhan air tanaman dan sebagai jalur transportasi masyarakat dan logistik. Selain empat fungsi tersebut, jaringan tata air juga untuk konservasi air rawa dan sebagai pendukung bagi proses reklamasi.
Ditekankan Hendri lagi yang merupakan ahli hidrologi, konsep pengelolaan air pada pertanian digital lahan rawa nanti akan dilakukan dengan pemasangan sensor untuk memantau tinggi air pada jaringan tata air lahan
rawa.
Saat ini berbagai riset mulai dilakukan oleh peneliti Balittra Khairil Anwar dan Wahida Annisa Yusuf yang menjadi tim pelaksana kegiatan untuk mewujudkan konsep smart farming lahan rawa dengan menggabungkan platform berbasis Internet of Things (IoT).
"Sementara tahun pertama ini kita melakukan riset untuk pengaturan muka tinggi yang terbaik di lahan pasang surut Tipe luapan C. Selain dapat meningkatkan indeks pertanaman, juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman," timpal Wahida.