Banjarbaru (ANTARA) - Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian, terus mendorong petani lahan rawa mewujudkan dua kali tanam setahun melalui penerapan teknologi yang telah dihasilkan.
"Pada lahan rawa kuncinya adalah jaringan tata air. Jika musim hujan bagaimana kelebihan air dapat dikelola dan membuang unsur beracun yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Kemudian jika musim kemarau, jaringan irigasi dapat menyuplai kebutuhan air tanaman," kata peneliti Balitbangtan Ir Hendri Sosiawan, CESA di Banjarbaru, Senin.
Diakui Hendri, masyarakat di lahan rawa belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran teknologi modern. Petani memilih cara tradisional dibanding peralatan teknologi canggih.
Dengan alasan keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka, karena profesi petani masih didominasi usia lebih dari 40 tahun dengan taraf pendidikan rendah. Bahkan tak sedikit yang tidak mengenyam bangku sekolah.
Padahal jika melek teknologi, kata Hendri, sangat mempermudah kerja petani dalam budidaya pertanian seperti di lahan rawa. Dimana luas lahan rawa di Indonesia sekitar 34,1 juta hektare yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua dan sedikit di Sulawesi.
Dari luas lahan yang terdiri dari lahan rawa pasang surut, rawa lebak dan gambut itu, potensial untuk pertanian 9 juta hektare. Sedangkan fungsional lahan sawah yang produktif 1 juta hektare. Sehingga untuk menjaga stok pangan nasional paling tidak 1 juta hektare tersebut yang harus dioptimalkan.
Salah satu teknologi yang kerap dikenalkan mantan Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) ini kepada petani yaitu water harvesting (panen air) hujan dan aliran permukaan untuk antisipasi kekeringan di musim kemarau.
Teknologi pengelolaan air tersebut begitu penting sebagai sumber air irigasi pada lahan pertanian sekaligus untuk memenuhi kebutuhan domestik di tengah ancaman kekeringan.
Meski lahan rawa yang dikonotasikan berlimpah sumber airnya, namun di beberapa tempat juga mengalami kekeringan di musim kemarau seperti lahan rawa pasang surut tipe C, D dan lahan rawa lebak dangkal.
Bangunan air yang cocok untuk dimanfaatkan sebagai penampung air di lahan rawa adalah “long storage” yang sebenarnya merupakan saluran-saluran sekunder dan atau tersier yang sudah dibangun oleh pemerintah di lahan rawa.
"Kami berharap dengan semua teknologi yang telah dikembangkan Balitbangtan, petani bisa mengimplementasikannya dengan baik, sehingga lahan pertanian dapat ditingkatkan produktivitasnya demi memenuhi stok pangan bagi 267 juta penduduk Indonesia," pungkas Hendri yang kini staf Peneliti Hidrologi di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.