Banjarbaru (ANTARA) - Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, berhasil mendorong petani wilayah perbatasan melakukan tanam dua kali setahun.
"Kegiatan pengolahan lahan dan pengelolaan air dimana Balittra yang dipercaya menjadi koordinator oleh Balitbangtan untuk perbatasan RI dan Malaysia di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sejak 2019, Alhamdulillah, sekarang petani dua kali panen setiap tahun," kata Prof Dr Ir Masganti MS, Peneliti Balittra di Banjarbaru, Selasa.
Masganti mengungkapkan, pengembangan tanaman padi di lahan pasang surut yang ada di perbatasan dihadapkan pada rendahnya produktivitas, karena rendahnya dukungan sumberdaya alam seperti ketersediaan air dan kualitas lahan.
Padahal ketersediaan air menjadi salah satu kunci utama keberhasilan dalam budidaya padi di lahan pasang surut.
"Air merupakan penggerak utama berbagai kegiatan utama seperti fotosintesis, respirasi, mikroba, dan reaksi kimia penting lainnya dalam tanah dan tanaman. Oleh karena itu, untuk memperoleh produktivitas padi yang maksimal, diperlukan pengelolaan air yang tepat," kata Guru Besar berijazah S3 Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada itu.
Baca juga: Balitra gelar pekan pertanian lahan rawa nasional
Baca juga: Balittra kenalkan budidaya jagung provitas tinggi
Baca juga: Balittra ingatkan petani ancaman gagal tanam di musim hujan
Produktivitas tanaman yang tinggi di lahan pasang surut juga harus didukung oleh pengelolaan lahan yang erat dengan usaha untuk memperbaiki kondisi lingkungan tumbuh tanaman padi melalui pemupukan dan ameliorasi.
Kegiatan pengelolaan air diawali dengan survei kondisi yang ada pada pengelolaan air, analisis curah hujan dan pengukuran hidrotopografi lahan serta analisis sifat fisika tanah.
Sedangkan pengelolaan lahan diawali dengan survei dan pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat kimia tanah, informasi pengelolaan lahan dan produktivitas padi.
"Pengelolaan air dan lahan dilaksanakan di lahan pasang surut tipe C dalam hamparan 100 hektare. Kami melakukan sistem tabat (bendungan mini), dimana 2 bulan sebelum menjelang musim kemarau air ditampung di tabat," ungkapnya.
Kemudian untuk menyalurkan air ke sawah seluas 100 hektare, dilakukan paralonisasi dengan jalan membenamkan paralon tersebut sekitar 30 sampai 50 centimeter ke dalam tanah dan dibenamkan di sekitar galangan supaya tidak mengganggu lalu lintas alat mesin pertanian dalam melakukan pengolahan tanah maupun pemanenan.
Sedangkan selisih tinggi tempat pengambilan air dengan bagian ujung pada sawah 30 centimeter, sehingga tidak memerlukan lagi pompanisasi untuk menghantar air ke area tanam.
"Hasil pengukuran produktivitas padi antara kawasan yang airnya dikelola melalui paralonisasi diperoleh nilai sebesar 3,89 ton/ha, sementara yang di luar kawasan hanya 2,72 ton/ha. Dari data tersebut diketahui bahwa selisih produktivitas hasil pengelolaan air 1,15 ton/ha," kata Masganti.
Hasil dari pendampingan 10 peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, termasuk Kepala Balittra Hendri Sosiawan tersebut, petani wilayah perbatasan kini merasakan panen padi dua kali setahun, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
"Kenaikan produktivitas 0,5 ton GKP/ha menghasilkan tambahan pendapatan sebesar Rp176.000.000 setelah dikurangi biaya bahan dan operasional Rp44.000.000 di lahan seluas 100 hektare," kata Masganti.*