Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan jika mekanisme pemilihan ketua umum secara aklamasi dilakukan pada Musyawarah Nasional (Munas) pada awal Desember 2019 nanti, maka Golkar tidak mencerminkan sebagai partai yang demokratis atau demokrasi di tubuh Golkar akan semakin suram.
"Golkar ini termasuk partai tertua di Indonesia, sudah matang dan melewati berbagai era perpolitikan di Indonesia, dari orde lama, orde baru hingga era reformasi saat ini. Mestinya lebih maju dan demokratis dari partai lain," kata Pangi di Jakarta, Kamis.
Pangi mengatakan hal itu menanggapi wacana calon ketua umum Golkar dipilih secara aklamasi dan hanya ada calon tunggal pada Munas Golkar yang akan digelar di Jakarta.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini menilai, mestinya momen Munas seperti ini harus dijadikan momen untuk memunculkan kader dan tokoh terbaik Golkar untuk tampil dan menunjukkan kemampuan dan kapasitas mereka, bukan malah memunculkan calon tunggal dan mematikan yang lainnya.
Baca juga: Demokrasi Indonesia bisa monolitik bila Gerindra gabung Pemerintah
"Kalau seperti ini gayanya, Golkar kembali ke era orde baru. Karena, hanya ingin mempertahankan status quo saja. Partai Golkar adalah partai milik publik tertua di Indonesia, bukan partai milik saham tertentu, bukan partai milik dinasti," papar Pangi.
Dia menambahkan, Partai Golkar tidak akan melawan demokrasi, karena partai ini dari dulu penuh dinamika dan memberi ruang kontestasi kepada setiap kader, memberi ruang gerak pada siapapun untuk memimpin nahkoda partai tersebut.
Pangi pun menyarankan agar Munas Golkar membuka ruang pada kader lain yang secara kapasitas intelektual dan kepemimpinannya sudah mumpuni untuk tampil.
"Karena dengan seperti itu, Golkar akan kelihatan lebih demokratis dan terbuka dan tidak dikapling oleh satu orang atau kelompok tertentu saja yang ingin berkuasa," ujar Pangi.
Sementara itu, Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia Sulthan Muhammad Yus mengungkapkan, Partai Golkar dikenal selalu dinamis dan terjadi persaingan sengit antarcalon ketua umum dalam setiap penyelenggaraan Munas.
Baca juga: Golkar Kalsel tetap bangun koalisi pilkada 2020
"Ini merupakan ciri khas Golkar. Oleh karenanya, jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan tersebut dengan memaksakan aklamasi, hal tersebut berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar," katanya.
Hal yang sama disampaikan politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo yang mengingatkan bahwa Golkar pernah memiliki pengalaman pahit mengenai pemilihan ketua umum secara aklamasi yang melahirkan perpecahan.
"Pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah, dan kita pernah pecah ada (kubu) Ancol dan Bali, (kubu) Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan Ancol," katanya, di sela Rapimnas Partai Golkar, di Jakarta, Kamis.
Ia memperkirakan ada banyak nama yang akan muncul sebagai calon ketua umum, seperti Ridwan Hisjam, Indra Bambang Utoyo, dan kemungkinan dirinya untuk bersaing dengan petahana, Airlangga Hartarto.
"Ada kemungkinan juga ada saya. Kan saya bilang belum memutuskan, bukan berarti saya tidak maju. Kita lihat perkembangan ke depan," kata Ketua MPR RI itu.
Yang terpenting, kata dia, pelajaran pahit terjadinya perpecahan Golkar harus menjadi renungan bagi seluruh kader untuk membiarkan proses demokrasi berjalan.
Demokrasi yang terpelihara di kalangan kader Partai Golkar harus dibiarkan berkembang, lanjut dia, jangan kemudian dipaksakan untuk seolah-olah harus aklamasi.
"Kalau yakin didukung mayoritas pemilik suara, kenapa mesti takut kemudian merancang untuk aklamasi?" kata Bambang Soesatyo yang biasa disapa Bamsoet.
Pengamat: Golkar tidak cerminkan demokrasi
Jumat, 15 November 2019 7:23 WIB