Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengingatkan berbagai pihak agar benar-benar menjaga Indonesia tetap terbebas dari penyakit sindrom kematian dini (EMS), yang menyerang komoditas udang.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang dinyatakan terbebas dari penyakit EMS, oleh sebab itu upaya yang benar-benar serius untuk mempertahankan status tersebut harus kita lakukan. Salah satunya dengan memastikan proses pembenihan udang benar-benar aman dari kontaminasi penyakit EMS/AHPND, tidak terkecuali dengan menggunakan induk udang yang benar-benar terbebas dari penyakit ini," kata Slamet Soebjakto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Slamet menjelaskan bahwa induk udang baik vaname maupun windu dari tambak sangat berpotensi menularkan penyakit karena dipelihara di tempat terbuka sehingga sangat rawan terpapar atau tertular berbagai penyakit serta potensial menciptakan dan menyebarkan penyakit lokal ke daerah lain.
Selain itu, ujar dia, proses pembuatan induk udang di tambak seringkali menyalahi atau tidak sesuai dengan protokol produksi induk, akibatnya induk udang yang dihasilkan tidak dapat dijamin bahwa secara genetik baik atau unggul.
"Jika kita ingin udang kita tetap aman dan bebas EMS, langkah pertama ya dari proses pembenihannya harus aman, induk yang dihasilkan harus melalui dan sesuai protokol produksi induk udang," lanjut Slamet.
KKP secara resmi telah melarang penggunaan induk udang asal tambak, baik jenis udang vanname (Litopenaeus vannamei) maupun udang windu (Penaeus monodon) sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 4575/DJPB/2019 tanggal 22 Mei 2019.
Larangan ini merupakan bentuk antisipasi serta sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap potensi timbulnya penyakit sindrom kematian dini (EMS) yang disebabkan oleh infeksi Vibrio parahaemolyticus yang dapat menyebabkan penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND).
Ada tiga poin utama dalam edaran larangan tersebut, yaitu: pertama, setiap hatchery (hatchery skala besar dan skala kecil (HSRT) dan naupli center dilarang menggunakan induk udang dari tambak; kedua, hatchery dan naupli center yang selama ini menggunakan induk udang dari tambak diharuskan untuk mengganti induk udang dari hasil breeding program broodstock center udang vannamei yang dimiliki pemerintah maupun swasta atau mengimpor induk udang bebas penyakit dari negara yang dinyatakan bebas penyakit; dan ketiga, pemerintah berupaya menyediakan induk udang hasil breeding program dari broodstock center.
"Saya mengimbau, semua pihak terkait untuk berkomitmen dan berpartisipasi aktif dalam mencegah masuk dan tersebarnya penyakit EMS/AHPND ke dalam wilayah RI dengan menggunakan induk udang yang sehat, bebas penyakit dan pakan induk udang yang juga bebas penyakit," ucap Dirjen KKP.
Selain mengeluarkan surat edaran larangan penggunaan induk udang dari tambak, ada sejumlah langkah atau upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah penyakit ini, antara lain peningkatan kewaspadaan terhadap gejala-gejala serta cara penanganan EMS/AHPND melalui sosialisasi, peningkatan kapasitas pengujian laboratorium serta meningkatkan pengawasan terhadap lalu lintas induk, calon induk, benur, serta pakan alami (polychaeta dan artemia) khususnya dari negara wabah.
Kemudian, mengajak untuk penebaran benur intensif 80-100 ekor per meter persegi, kembali melakukan persiapan seperti prinsip-prinsip dasar atau panca usaha, melarang menggunakan induk tambak untuk HSRT atau Naupli Center, mengembangkan kawasan budidaya perikanan berbentuk klaster secara terpadu dan terintegrasi dalam satu kesatuan pengelolaan, baik lingkungan, teknologi, input produksi maupun pemasaran, serta mempertahankan keberlanjutan usaha budidaya perikanan melalui pengaturan izin lokasi dan izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL), penyediaan saluran inlet/outlet yang terpisah.
Sebelumnya, KKP sepanjang April hingga Mei 2019 KKP bersama stakeholder perikanan budi daya seperti Shrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), usaha pengolahan dan lainnya melakukan road show sosialisasi pencegahan penyakit ini di Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, ujar dia, KKP juga membentuk dan mengintensifkan peran tim gugus tugas pencegahan penyakit AHPND beranggotakan unsur pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan pakar.
"KKP terus melakukan surveilance atau pengawasan terhadap cara budidaya ikan yang baik, penggunaan induk, dan memonitor residu. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut sosialisasi ini DJPB akan menerjunkan pengawas pembudidaya ikan untuk memonitor kegiatan budidaya di masyarakat," lanjutnya.