Banjarmasin (ANTARA) - Prof Dr H Sutarto Hadi merasa bersyukur bisa menjadi doktor karena beasiswa pemerintah Republik Indonesia. Sejak S1 di ULM, S2 di UGM, kemudian S3 di University of Twente (UT) Belanda mendapatkan beasiswa dari Pemerintah RI.
Dia menyelesaikan S3 di UT tahun 2002. Dia juga merasakan berkah beasiswa itu hingga menjadi profesor pada 2007, kemudian tiga tahun berselang menjadi Wakil Rektor IV ULM (2010-2014), dan menjadi Rektor ULM Periode 2014-2018 serta kembali dilantik Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) RI Mohamad Nasir pada 18 September 2018 menjadi Rektor ULM periode 2018-2022.
Tanpa beasiswa sungguh berat bagi seorang anak yatim bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang S3. Menurut Sutarto, program beasiswa pemerintah sangat bermanfaat bagi anak negeri yang secara ekonomi kurang beruntung tapi memiliki bakat dan potensi akademik luar biasa.
"Program beasiswa harus diteruskan, bahkan diperbanyak agar semakin banyak putra-putri terbaik bangsa memperoleh manfaat serta dapat tumbuh dan berkembang optimal," ucapnya kepada Kantor Berita Antara.
Sutarto mengakui, animo generasi muda untuk belajar ke jenjang tertinggi saat ini sangatlah besar. Dan semangat ini tentu harus didukung oleh pemerintah dan pihak swasta untuk menyediakan lebih banyak lagi beasiswa.
Hanya saran dia, dalam membuat beasiswa harus hati-hati memberi namanya. Karena Sutarto punya cerita saat kuliah S1 punya kawan yang berasal dari pegunungan meratus di Kalsel, kuliah di Banjarmasin. Kawan ini dari keluarga miskin.
Orang tuanya hanya sanggup membekali dengan beras dan sedikit ikan sepat kering untuk bertahan hidup di Banjarmasin. Tidak ada uang. Karena miskinnya, setiap kali makan lauknya adalah satu ekor ikan sepat kering yang ukurannya lebih kecil dari dua jari orang dewasa, dan tipis, tapi tidak setipis kartu ATM.
Untuk menggoreng ikan itu pun, sang kawan tidak sanggup beli minyak goreng. Caranya, saat ada kawan yang menggoreng ikan, ia numpang di wajan kawan mencemplungkan ikannya.
Apapun dilakukan oleh kawan ini untuk menyambung kuliahnya. Termasuk menahan malu. Waktu kuliah ada kawan-kawan membuat sayembara, siapa yang berani ke kampus memakai celana yang terbuat dari kain bekas sarung tepung terigu. Yang berani dibayar Rp 5 ribu, jumlah yang cukup besar waktu itu.
"Kawan kita ini menyanggupinya. Maka berangkatlah ia ke kampus dengan celana kain tepung gandum. Orang-orang pada heran dan menertawakan. Ketika ada yang bertanya, kenapa memakai celana itu? Dengan entengnya ia menjawab, saya baru pulang dari latihan Karate!," ungkap Sutarto mengisahkan.
Suatu saat, di kampus ada tawaran beasiswa bagi mahasiswa miskin, dia pun mendorong sang kawan untuk melamar mendapatkan beasiswa tersebut. Tapi dengan tegas ternyata orang yang dimaksud menolak.
"Apa pasal? Ternyata nama beasiswanya beasiswa untuk mahasiswa miskin. Dia bilang, kalau saya ambil beasiswa ini, sama saja saya berdoa menjadi miskin selamanya. Akhirnya, semangatnya untuk mengubah nasib mengantarkan dia sukses dalam studi dan pekerjaan, hingga menjadi pejabat di kantor pemerintah," tutur Sutarto.Untuk itu Sutarto berharap, pemerintah dan pihak swasta lainnya dapat memberi nama beasiswa dengan istilah yang baik, tidak merendahkan tapi lebih memuliakan dan terhormat.
Bidikmisi seharusnya tidak diterjemahkan sebagai “Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi”.
"Tidak usahlah menyebut miskin untuk penamaan beasiswa. Bisa digunakan istilah lain, seperti 'Biaya Pendidikan Mahasiswa-Mahasiswi Berprestasi' atau 'Biaya Pendidikan Mahasiswa Milenial Berprestasi," paparnya.
ULM bekerja sama dengan PT Adaro memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang beruntung tapi memiliki prestasi akademik yang baik.
Untuk itu, dipilihlah dari calon mahasiswa yang melamar program Bidikmisi. Mereka yang terpilih diberi beasiswa yang diberi nama ABFL (Adaro Bright Future Leaders). Istilah yang keren dan memberi kebanggaan bagi penerimanya.