Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Al Musawa menilai, dukungan Menteri Kehutanan (Menhut) terhadap swasembada pangan di Indonesia, masih abstrak.
Penilaian itu dalam keterangan persnya kepada wartawan yang tergabung dalam Journalist Parliament Community (JPC) Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Selasa.
Pasalnya, menurut anggota DPR-RI asal daerah pemilihan (dapil) Kalsel tersebut, dukungan Menhut terhadap program swasembada pangan selama ini masih sebatas pertanyaan.
"Dukungan abstrak terakhir adalah pernyataan Menhut yang mengajak dan mewajibkan pemilik/pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), untuk menanam tanaman pangan di areal hutan konsesinya," ungkapnya.
Selain itu, diberitakan, Menhut terus berkoordinasi, mengajak dan mewajibkan pemilik HPH dan HTI untuk menanam tanaman pangan paling sedikit lima persen dari lahan yang dikelola mereka, lanjutnya.
"Saya mengapresiasi langkah Menhut tersebut. Tapi jangan sebatas kata-kata. Wujudkan, semakin cepat semakin baik," tandas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Dalam kaitan dukungan terhadap upaya swasembada pangan tersebut, anggota Komisi IV DPR yang juga membidangi pertanian secara umum itu, meminta Menhut menerbitkan Peraturan Kementerian Kehutanan (Permenhut).
"Permenhut tersebut mewajibkan pemegang HPH dan HTI, mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami tanaman pangan," ujar alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu.
"Bila Permenhut itu dikeluarkan, bukan lagi sebagai dukungan abstrak, tapi merupakan kontribusi kongkrit sektor kehutanan dalam mendukung program swasembada pangan," lanjutnya.
Ia menyarankan, jika Menhut ingin merealisasikan dukungannya, agar lokasi lima persen lahan yang diperuntukan bagi tanaman pangan tersebut berdekatan dengan pemukiman penduduk.
"Akan lebih baik lagi bila lahan yang lima persen tersebut diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat," saran wakil rakyat yang menyandang gelar insenyur dan magister bidang pertanian itu.
Menurut dia, setidaknya dua hal positif yang didapat perusahaan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan lahan tersebut. Pertama, perusahaan tidak perlu mengalokasikan anggaran untuk mengelola tanaman pangan, dan bisa fokus pada bidang usahanya.
Nilai positif kedua, untuk keamanan usaha. Kebaikan berupa menyerahkan pengelolaan lahan kepada masyarakat tersebut menjadi sarana untuk pendekatan kepada masyarakat.
"Dengan melibatkan masyarakat tersebut, secara tidak langsung merupakan usaha untuk mencegah terjadinya konflik perusahaan versus masyarakat," ujarnya.
"Tentu saja penyerahan pengelolaan lahan tersebut harus diikat oleh perjanjian yang disetujui kedua belah pihak dan tidak melanggar aturan yang berlaku," demikian Habib Nabiel. /D.
(T.KR-SHN/B/H005/H005) 11-12-2012 16:21:09