Irama 'katipung' (gendang) yang ditabuh masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Adat Panyatnyan Agung Mula Adat, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, terdengar bergemuruh.
Prosesi Aruh Adat Balangatan yang mereka gelar di Balai Adat itu, menyedot perhatian. Bukan hanya warga setempat, masyarakat adat Dayak Meratus dari berbagai pelosok Kalselpun berdatangan. Begitu pula dengan warga non-Dayak seperti etnis Banjar, tak mau ketinggalan menyaksikan momentum unik tersebut.
Namun, tidak begitu dengan Cangadak. Lelaki berperawakan kecil itu adalah Kepala Adat Suku Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) yang lokasinya bertetangga dengan Hantakan.
Meski saat itu juga datang ke Desa Hinas Kiri, namun ia tidak menuju Balai Adat Panyatnyan Agung Mula Adat. Ia hanya duduk-duduk saja di warung sambil melamun. Sepertinya, ia tengah memikirkan sesuatu yang amat penting.
"Apa yang sedang Sida (penggilan kepada orang yang lebih tua, dituakan atau dihormati) lamunkan?" kata Koordinator Lembaga Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade yang baru datang bertanya.
Cangadak tersenyum. Kepala Adat Dayak yang membawahi 26 Balai Adat di BAT itu terlihat gembira. Seakan menemukan orang yang tepat untuk di ajak bicara.
"Aku memiliki mimpi. Aku memimpikan, suatu saat di lingkungan masyarakat adat Dayak Meratus atau setidaknya di lingkungan kami di BAT, ada kesamaan aturan hukum adat," ujarnya.
Cangadak bukanlah orang terpelajar. Sekolah dasar pun tak sempat ia tamatkan. Namun Kepala Adat yang baru berumur 30 tahun itu memiliki pemikiran yang sederhana tapi cemerlang.
Sederhana, karena yang ia pikirkan masih dalam lingkup kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus. Cemerlang, karena bila bisa diwujudkan berarti itu adalah terobosan baru di ranah hukum adat.
Masyarakat adat Dayak Meratus memiliki ketentuan hukum tersendiri yang berlaku dan ditaati di wilayah mereka. Hukum adat yang berlaku itu adalah sistem hukum yang juga dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Masyarakat adat Dayak Meratus mengenal sistem hukum adat dalam tiga kelompok. Yaitu Hukum Adat mengenai tata Negara, Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan), dan Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Penegakan hukum adat dilakukan dengan memberlakukan sanksi hukum yang terdiri dari sanksi manusia dan sanksi Tuhan. Sanksi manusia berupa denda sebagai hukuman, sedang sanksi Tuhan berupa kesialan dan karma yang disebut dengan istilah "katulahan".
Agar terhindar dari 'katulahan', seseorang yang terkena sanksi hukum adat harus menjalankan ritual tertentu dan memberikan persembahan kepada arwah leluhur yang disebut 'piduduk'. Piduduk biasanya berupa beras, benang, kelapa, besi, kain, dan lain-lain.
Selain kedua sanksi tersebut, masih ada lagi sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat setempat. Biasanya sanksi itu berlaku bila sang pelaku atau terdakwa tidak memenuhi sanksi hukum yang dikenakan.
"Tapi satu hal yang mengganggu pikiranku. Mengapa sanksi denda yang diberlakukan setiap Balai Adat bisa berbeda. Bayangkan saja, seandainya aturan hukum adat itu bisa diberlakukan sama tentu akan lebih memudahkan prosesnya," ujar Cangadak.
Perbedaan yang dimaksudkan Cangadak adalah besar kecilnya denda yang diberlakukan tiap-tiap Balai Adat. Misalnya, di Balai Panyatnyan Agung Mula Adat seorang yang kedapatan mencuri akan dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar sebesar 10 Tahil (1 Tahil sama dengan Rp120 ribu).
Namun, ketika di Balai Adat lainnya terjadi kasus yang sama, maka denda yang diberikan bisa kurang atau lebih dari 10 Tahil.
"Aku berharap, suatu saat dapat mengumpulkan seluru Kepala dan tetuha Adat, minimal di lingkungan BAT, agar dapat menyeragamkan ketentuan itu dan menuangkannya dalam bentuk aturan hukum baku yang tertulis," katanya.
Mimpi Cangadak sederhana. Dengan adanya ketentuan baku secara tertulis, maka ketika terjadi pelanggaran di wilayah hukum adat tidak perlu lagi melalui proses hukum yang memakan waktu lama untuk memperoleh kesepakatan.
Dalam menentukan sanksi dan hukuman, cukup mengacu pada ketentuan yang sudah disepakati dan dituliskan tadi. Dan itu berlaku untuk semua kalangan masyarakat adat Dayak Meratus, minimal di lingkungan BAT.
Proses pengadilan adat layaknya pengadilan yang lumrah 'kita' temui, yakni menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan keadilan.
Penegak hukum adat adalah para pemuka adat. Proses peradilan dipimpin oleh seorang yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat. Dewan Hakim berjumlah tiga orang, terdiri dari para Kepala Adat.
Selain Dewan Hakim terdapat juga Dewan Penuntut yang berjumlah tiga orang, terdiri dari para Damang. Agar hukuman yang dijatuhkan dapat seadil-adilnya, dibentuk Dewan Pertimbangan yang juga berjumlah tiga orang, terdiri dari Kepala Adat, Damang dan tokoh masyarakat adat.
Pengadilan Adat dilakukan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan seadil-adilnya. Pada prosesnya, Pengadilan Adat biasa berlangsung lama hingga sehari penuh.
Yang memakan waktu lama adalah keterangan korban dan pelaku yang berbelit-belit serta perdebatan antara Dewan Penuntut dan Dewan Pertimbangan. Si pesakitan pun memiliki hak untuk membela diri. Dengan begitu, hukuman yang dijatuhkan sangat jarang tidak bisa dijalani pelaku.
Koordinator LPMA Borneo Selatan, Juliade menilai, apa yang diimpikan Cangadak bukanlah mustahil.
"Hanya saja, harus diperhatikan keberadaan hukum formal yang berlaku saat ini. Jangan sampai ketentuan hukum adat lantas bersinggungan atau justru berseberangan dengan ketentuan hukum formal," ujarnya.
Akan sangat bijaksana, bila masyarakat adat Dayak Meratus dapat menerapkan ketentuan hukum adat tanpa mengenyampingkan ketentuan hukum formal, di mana pada sebuah kejadian atau pelanggaran yang terjadi di wilayah adat maka ketentuan hukum adat yang berlaku. Namun, ketika aturan yang diterapkan tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, maka hukum formal diberlakukan sebagai aturan tertinggi.
"Akan lebih bagus lagi bila pemerintah daerah setempat dapat memberikan pengakuan terhadap wilayah adat dalam sebentuk Peraturan Daerah (Perda), sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih dalam penerapan hukum adat dan hukum formal," katanya.
Pengamat hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, M Rifki Nijami Karsayuda sependapat dengan Juliade.
"Hukum adat itu bersifat dinamis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat itu sendiri. Apa yang diharapkan oleh Cangadak dapat diberlakukan bila formulasinya relatif dapat diterima oleh seluruh komunitas," ujarnya.
Yang harus diwaspadai adalah terjadinya konflik antara hukum adat dengan hukum formal yang berlaku dan sah menurut Undang-Undang. Namun, bila masyarakat adat mampu menyeimbangan antara pemberlakukan hukum adat dengan hukum formal, maka akan tercipta sebuah dinamisasi yang bagus.
"Pemerintah daerah setempat dalam hal ini dapat menjadikan hal tersebut sebagai urusan khusus, di mana perlu adanya urun rembug dengan masyarakat adat agar bisa diberlakukan sebuah Perda yang mengakui keberadaan hukum adat," katanya.
Cangadak mendesah. Untuk dapat mengumpulkan seluruh elemen masyarakat adat Dayak Meratus bukanlah hal mudah. Selain memerlukan waktu, juga biaya yang tidak sedikit.
Terlepas dari semua itu, pemikiran Cangadak boleh jadi sebagai sesuatu yang melebihi zamannya. Pemikiran sederhana dari seseorang yang sekolah dasar pun tidak tamat.
Kini,
terpulang kepada pemerintah daerah setempat untuk lebih peka dan tanggap dengan persoalan-persoalan masyarakat adat Dayak Meratus. Karena apa yang diimpikan Cangadak, bukan hanya meringankan tugas aparat keamanan, tetapi juga mendukung upaya ketertiban umum menuju masyarakat yang berkeadilan, aman dan makmur.
CANGADAK DAN PERSAMAAN ATURAN HUKUM ADAT Oleh Rusmanadi
Jumat, 5 November 2010 16:09 WIB