Barabai (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Selatan (AMAN Kalsel) menilai kesepakatan tapal batas Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan Kotabaru cacat formil dan merugikan masyarakat adat.
"Kesepakatan tapal batas tersebut menurut kami perlu ditinjau ulang karena mengancam wilayah adat," kata Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel Rubi di Barabai, Rabu.
Baca juga: Warga tiga desa di Pegunungan Meratus desak tinjau ulang tapal batas HST-Kotabaru
Secara hukum tata negara, Rubi menganggap cacat dan tidak bisa dibenarkan, seharusnya keputusan besar itu yang hadir sama-sama bupati (kepala daerah), namun dari pihak Kotabaru hanya menurunkan Sekretaris Daerah, dan tidak melibatkan masyarakat.
Kemudian, masyarakat adat yang bermukim di Pegunungan Meratus Dusun Mangga Jaya dan sekitarnya yang bersentuhan langsung dengan tapal batas tersebut tidak mendapatkan informasi terkait kesepakatan itu.
"Alih-alih dilibatkan, masyarakat adat malah mendapatkan informasi kesepakatan batas itu dari luar, bukan dari pemerintah. Jelas kami menolak adanya kesepakatan sepihak dan tertutup itu," jelasnya.
Akibat kesepakatan tapal batas tersebut, dari 34 ribu hektare wilayah yang jadi sengketa di wilayah kawasan hutan lindung sekitar kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten HST mendapatkan 11 ribu hektare, sedangkan Kabupaten Kotabaru mendapatkan 23 ribu hektare.
Lalu, kesepakatan batas pada Juni 2021 lalu yang dipimpin PJ Gubernur Kalsel Syafrizal bersama Bupati HST H. Aulia Oktafiandi dan Sekda Kotabaru H. Said Akhmad itu menabrak wilayah adat dan deliniasi tidak memiliki dasar yang jelas, sehingga ruang hidup masyarakat adat kian terancam.
Baca juga: DPRD HST sambut baik usulan Raperda tentang Perlindungan Masyarakat Adat
Rubi menyebut, pihaknya bersama para tokoh adat sudah melakukan berbagai upaya, termasuk melayangkan surat kepada pemerintah daerah, Gubernur Kalsel hingga Kementerian Dalam Negeri terkait penolakan kesepakatan batas tersebut dan meminta untuk segera ditinjau ulang.
"Jelas yang dirugikan adalah masyarakat adat yang seakan-akan tidak mendapatkan perhatian, pembangunan di wilayah tersebut juga tidak bisa berjalan," lanjutnya.
Sementara itu, Ketua DPRD HST H. Pahrijani juga telah mengirimkan surat terkait permohonan peninjauan kembali kesepakatan batas wilayah, dan ditindaklanjuti Bupati HST Samsul Rizal juga bersurat ke Gubernur Kalsel untuk permohonan itu.
Hal itu dilakukan menindaklanjuti aspirasi masyarakat adat, karena deliniasi batas hasil kesepakatan pada 2021 itu tidak sesuai dengan batas adat yang telah disepakati oleh para tokoh adat Balai Adat Juhu, Balai Adat Aing Bantai Datar Tarap, dan Balai Adat Aing Bantai Manggajaya.
"Serta, kesepakatan antara eksekutif dan legislatif yang tertuang dalam Peta Batas Administrasi pada Perda RTRW Kabupaten HST 2016 terjadi pengurangan luasan wilayah," lanjutnya.
Pahrijani menuturkan upaya ini dilakukan guna mengembalikan hak ulayat masyarakat adat ketiga Balai Adat tersebut sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang sudah turun-temurun mendiami wilayah tersebut.
Baca juga: LazisMu serahkan bantuan kepada Komunitas Adat Terpencil di HST
