Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkap bahwa pemerintah akan tetap membiayai pengobatan dan penanganan akibat kasus COVID-19 yang kembali naik di Indonesia.
Pasalnya, pandemi COVID-19 termasuk bencana non-alam, sehingga pemerintah tetap akan membiayai melalui BPJS Kesehatan.
"Peran BPJS Kesehatan dalam penanganan COVID-19 di Tanah Air adalah mendukung pemerintah sesuai kapasitasnya dalam sistem pembiayaan, pencegahan dan pengobatan COVID-19," ujar Ghufron dalam keterangan resminya, Rabu.
Menurut dia, penanganan terkait public health seperti pandemi COVID-19 merupakan domain dari Kementerian Kesehatan. Namun, BPJS Kesehatan akan tetap mendukung sesuai kapasitasnya dalam sistem pembiayaan dan pengobatan COVID-19.
Apalagi, sambung Ghufron, sampai dengan Maret 2023 keanggotaan BPJS Kesehatan sudah mencapai 91,58 persen atau 252,17 juta penduduk Indonesia. Ia berpendapat, masyarakat tidak perlu panik melihat tren naiknya kasus COVID-19 saat ini, tetapi tetap harus waspada dengan upaya pencegahan tetap dilakukan.
"Klaim pembiayaan pengobatan COVID-19 ada masa kadaluwarsa-nya, yaitu dua bulan sejak pasien dinyatakan selesai mendapatkan pelayanan," tuturnya.
Ghufron juga mengingatkan bahwa saat ini kasus Tuberkulosis di Indonesia juga cukup tinggi, sehingga harus diwaspadai.
Baca juga: Kemenkes sebut Arcturus 1,5 kali lebih menular dibanding Kraken
Baca juga: Erick Thohir minta KAI buat proyeksi pertumbuhan penumpang pascaCOVID
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Ratu Ngadu Bonu Wulla memuji kinerja BPJS Kesehatan yang semakin baik. Ia berharap kepesertaan BPJS bisa lebih aktif, sehingga perlu sosialisasi kinerja BPJS agar kepesertaannya terus meningkat.
"Saat ini jumlah peserta BPJS Kesehatan yang tidak aktif tercatat 30 jutaan orang," ungkap Ratu.
Ia juga mendorong agar digencarkan kembali gerakan vaksinasi agar imunitas masyarakat tetap mampu menangkal penularan COVID-19 di Tanah Air.
Di sisi lain, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan dunia internasional saat ini sebenarnya optimistis endemi COVID-19 akan tiba pada Januari 2023. Namun, munculnya varian baru COVID-19 di sejumlah negara membuat proses menuju endemi tersendat.
"Pemerintah dapat melakukan whole genome sequncing terhadap kasus-kasus COVID-19 agar lebih jelas dalam penanganan varian-varian baru COVID-19 saat ini," tutur Tjandra.
Lebih lanjut, ia menegaskan, langkah pencegahan penularan COVID-19 harus ditingkatkan melalui kesadaran masyarakat untuk segera memeriksakan diri bila memiliki gejala COVID-19. Kelompok rentan dan lansia harus berhati-hati dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan memasyarakatkan vaksinasi booster.
Karena, menurut dia, pandemi COVID-19 mungkin berakhir, akan tetapi COVID-19 tidak akan hilang. Sehingga, pasien COVID-19 di masa yang akan datang juga masih ada.
"Upaya sosialisasi terkait pencegahan penularan COVID-19 dan budaya hidup sehat harus terus dilakukan. Upaya pencegahan, tambahnya, harus dimulai dari diri sendiri," ungkapnya.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor