Kotabaru, (AntaranewsKalsel) - Masyarakat perantau atau keturunan Suku Bugis di Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, berusaha untuk melestarikan makanan khas daerah asalnya yakni "sokko tumbu".
"Makanan khas tersebut selalu ada pada hari-hari besar keagamaan, pada saat selamatan atau hajatan," kata warga Pulau Sebuku Hj Cammah di Kotabaru, Senin.
Meski ia bersama orangtuanya terlahir di Kotabaru, sementara kakeknya yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, hingga saat ini masih selalu membuat makanan sokko tumbu untuk dihidangkan pada dua hari raya, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Aneka menu masakan dan kue biasa disajikan kaum Muslimin pada Hari Raya, lauk yang dibuat dari daging sapi, kerbau, kambing dan ayam menjadi hal yang biasa dan bukan lagi makanan istimewa pada saat lebaran tiba.
Tetapi makanan sokko tumbu seakan menjadi makanan yang wajib ada di meja makan, atau meja tamu pada Hari Raya Idul Fitri.
Makanan yang dibuat dari beras ketan dan dimasak dengan dibungkus daun pisang dengan bentuk bulat panjang itu seakan menjadi makanan wajib bagi warga Bugis dan keturunannya yang ada di Kotabaru saat lebaran Idul Fitri.
Bagi masyarakat Kotabaru yang memiliki nenek moyang dari Bugis, Sulawesi Selatan dan masih memegang teguh adat istiadat nenek moyangnya, mereka selalu menyediakan makanan sokko tumbu untuk dihidangkan kepada para tamu yang bersilaturrahmi ke rumahnya.
Panganan tersebut biasanya dihidangkan bersama dengan opor daging atau ayam, atau dengan gula merah yang diolah dari air nira (pohon enau/aren) dituangkan dalam piring kecil, atau mangkok berukuran sedang.
Legitnya sokko tumbu akan sangat terasa di lidah apabila cubitanya ditoletkan pada opor daging atau ayam yang sedikit pedas, tidak kalah nikmatinya sokko tumbu dimakan dengan gula merah aren yang diiris-iris menjadi lembut dan dituangkan di piring kecil.
Gurihnya santan yang dipadukan dengan bumbu opor atau manisnya gula merah menambah kenikmatan makan sokko tumbu, setelah habis di lidah selalu ingin menambah dan menambah lagi.
Seorang warga Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, Maulidah, menuturkan, sokko tumbu merupakan makanan khas orang Bugis Makassar yang sangat digemari warga Kusan Hilir ketika lebaran.
Selain menjadi makanan wajib yang ada pada lebaran, sokko tumbu juga dijadikan salah satu media untuk mengingat kampung halaman, terutama bagi warga Bugis yang sudah puluhan tahun merantau ke Kabupaten Kotabaru, ataupun Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Meski mereka tidak mampu menyediakan aneka hidangan kue di meja tamu, namun hampir sebagian besar warga di Kusan Hilir dan sekitarnya selalu menyajikan sokko tumbu bersama lauk opor daging, ayam atau gula merah di meja tamu.
"Ada juga yang disajikan dengan ikan laut atau kuah santan campur ikan bolu, ikan layang dan telur asin di atas piring," katanya.
Makanan sokko tambu banyak ditemukan di daerah Kusan Hilir, Tanah Bumbu, dan Kotabaru di mana panganan tersebut dijadikan menu wajib untuk menjamu para tamu yang datang untuk bersilaturrahmi dan bermaaf-maafan.
Ia mengatakan, makanan khas Makassar, Sulawesi Selatan ini dibuat dengan menggunakan bahan baku, di antaranya, beras ketan, santan, daun pisang muda dan tua untuk membungkus, dan tali rapia secukupnya untuk mengikat. Dan proses pembuatan sokko tumbu tergolong sangat mudah, beras ketan sebelum dimasak harus direndam beberapa jam untuk membersihkan beras dari kotoran.
Satu gantang beras ketan atau sekitar 3,4 kilogram diperlukan santan dari tiga butir kelapa berukuran besar. Beras ketan yang sudah bersih dimasukkan ke dalam air santan yang sudah mendidih, dan direbus hingga setengah matang.
"Sebelum direbus, beras ketan harus direndam terlebih dahulu. Khusus untuk beras ketan dari petani lokal, merendamnya lebih lama dibandingkan dengan beras ketan asal Thailand," kata warga Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, Hj Camma.
Menurut dia, meski beras ketan asal "negeri gajah" Thailand, tampilannya terlihat lebih baik dibandingkan dengan beras ketan lokal. Namun kualitas setelah jadi panganan lebih awet yang dibuat dari beras lokal dibandingkan dengan beras impor.
Bagi warga yang tidak bisa membuat sokko tumbu, mereka terpaksa mengupahkan kepada warga yang lainnya dengan upah yang disepakati. Hal itu menunjukkan betapa petingnya makanan khas tersebut harus tersedia di meja tamu atau meja makan saat berlebaran.