Jakarta (ANTARA) - Gula merupakan bahan pangan krusial dalam sistem rantai produksi pangan, sehingga tidak mengherankan apabila keberadaan dan harga barang yang satu ini akan sangat memengaruhi keseimbangan dalam industri makanan.
Dengan kebutuhan yang tinggi baik dalam konsumsi rumah tangga maupun industri, ketersediaan gula menjadi sangat penting. Global Sugar Report 2021/22 yang dipublikasikan Ragus mencatat konsumsi gula global pada 2020/21 mencapai 185 juta ton, naik dari 181,1 juta ton pada 2019/2020.
Karenanya, sangat masuk akal jika sebagian negara di dunia berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri.
Produksi gula Brasil akan menurun karena cuaca kering yang berkelanjutan, tetapi potensi peningkatan dari India dan Thailand dapat mengimbangi penurunan ini.
Produksi gula global untuk tahun 2021/22 diprediksi bisa mencapai 189 juta ton, menandai potensi peningkatan sebesar 4,7 juta ton. Angka ini lebih baik karena mendekati rekor tertinggi yang pernah ada, yaitu 201,9 juta ton pada 2017/18.
Defisit gula global diprediksi akan berkurang dari 4,3 juta ton pada 20/21 menjadi potensi surplus 0,5 juta ton pada 2021/22. Bergantung pada pandemi COVID-19, konsumsi gula global dapat meningkat menjadi 185,0 juta ton untuk tahun 2021.
Di Indonesia, produksi gula nasional 2020/21 menurut prediksi Center of Indonesia Policy Studies (CIPS) akan turun menjadi 2,05 juta ton, sementara konsumsi domestik pada tahun yang sama mencapai setara 7,2 juta ton gula mentah.
Angka riil saat ini, rata-rata produksi gula nasional saat ini hanya berkisar 2,2 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan gula konsumsi rumah tangga per tahun mencapai sekitar 2,8 juta ton dan untuk industri 3,62 juta ton, sehingga kebutuhan impor bisa mencapai 4,22 juta ton setahun.
Dengan angka-angka itu jelas sangat beralasan pemerintah mendorong peningkatan produksi gula nasional, bahkan diharapkan tercapai swasembada pada 2025 sehingga tidak lagi harus mengandalkan impor yang menyedot persediaan devisa.
Berbagai langkah dan kebijakan telah ditempuh pemerintah Indonesia, mulai dari revitalisasi pabrik gula, mendorong perluasan lahan tanam tebu, hingga impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Revitalisasi dan upaya peningkatan produksi gula telah membuahkan hasil. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, produksi gula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sudah meningkat menjadi sekitar 800 ribu ton, namun itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional sehingga pemerintah masih membuka kran impor.
Belum lama ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN berencana meningkatkan efisiensi dan kinerja PTPN dengan mendirikan pabrik gula Sugar Company (SugarCo) dengan investasi sekitar Rp23 triliun. Pemerintah berharap langkah yang dilakukan PTPN bisa turut mendukung target swasembada gula nasional pada 2025.
Selain itu, Kementerian Perindustrian turut mendorong pengembangan industri gula agar bisa lebih produktif dan berdaya saing, sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri menuju swasembada, khususnya gula konsumsi nasional.
Butuh gebrakan
Mewujudkan swasembada gula pada 2025 tidaklah mudah, butuh gebrakan untuk mencapainya mengingat disparitas kemampuan produksi dan kebutuhan gula nasional masih sangat lebar, dengan sebagian besar masih harus dipenuhi dari impor.
Selain melalui revitalisasi pabrik, peningkatan efisiensi pabrik yang ada, peningkatan kapasitas produksi dan ketersediaan bahan baku tebu, hingga mendorong investasi baru di industri ini sangat dibutuhkan.
Permasalahan utama yang perlu dipecahkan di industri gula nasioanl menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen adalah gagal panen hingga penurunan jumlah produksi, mulai dari ongkos petani yang tinggi sampai produktivitas tebu yang rendah.
Gebrakan yang dibutuhkan ke depan, di luar faktor yang tak bisa dikendalikan yakni pengaruh iklim, yakni perlunya perluasan area tanam, penyediaan infrastruktur memadai untuk menekan ongkos angkut bahan baku, hingga peningkatan produktivitas gula pada tanaman tebu.
Produktivitas tebu diharapkan bisa dinaikkan menjadi 100 ton per hektar, rendeman meningkat menjadi 10 persen dari yang saat ini sekitar 8 persen, sehingga produksi gula bisa naik menjadi 10 ton per hektare.
Jika itu bisa diwujudkan, dengan luas tanam saat ini yang 418 ribu hektare, misalnya, Indonesia bisa memproduksi setidaknya 4,18 juta ton gula, menurut penghitungan APTRI.
Satu masalah mungkin bisa teratasi dari sisi tingkat produktivitas, dan akan semakin berdaya ketika hal itu dibarengi dengan perluasan area tanam. Kemitraan dengan petani di sekitar sentra-sentra produksi gula harus didorong dan digalakkan secara masif.
Saat ini tercatat 23.559 petani tebu rakyat yang tersebar di Pulau Jawa, di antaranya 4.136 petani di wilayah Jawa Barat, sebanyak 653 petani di Jawa Tengah dan 18.770 petani tebu di Jawa timur.
Dengan imbal hasil atau pendapatan yang menarik dalam kemitraan ini tentu akan mendorong banyak petani bermitra dengan pabrik-pabrik gula dalam penyediaan bahan baku tebu berkualitas, lantaran ada pendampingan dan dukungan teknis.
Dengan berbagai langkah serempak dari hulu hingga hilir, mulai dari peningkatan kapasitas produksi pabrik melalui investasi, perluasan area tanam dan peningkatan produktivitas tebu, serta pemberdayaan petani, tentu swasembada gula Indonesia 2025 bisa dicapai.
Artikel : Gebrakan menuju swasembada gula nasional
Sabtu, 9 Oktober 2021 9:51 WIB