Jakarta (ANTARA) - Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu definisi latah adalah meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain.
Latah tidaklah salah dan sah-sah saja selama tidak merugikan siapapun. Apalagi dalam berbisnis, latah menjadi hal yang jamak terjadi karena tak ingin ketinggalan menggarap ceruk pasar yang berpotensi mendatangkan cuan.
Indonesia yang saat ini dihuni oleh 272 juta penduduk dan 64 persennya merupakan pengguna internet, mengindikasikan besarnya potensi untuk digitalisasi. Jumlah tersebut diyakini akan terus meningkat seiring makin pesatnya perkembangan teknologi.
Baca juga: Bank Kalsel raih 4 penghargaan 10 th Infobank Digital Brand Awards 2021
Sebagai institusi yang berbasis kepercayaan, perbankan pun juga sudah mulai mengalihkan layanannya dari kantor cabang menjadi layanan digital. Bank tentunya tak mau kehilangan nasabah karena telat berinovasi. Pandemi COVID-19 mempertegas hal tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana menilai pandemi COVID-19 yang berlangsung hampir 1,5 tahun di Tanah Air mendorong upaya transformasi digital di sektor perbankan menjadi suatu keniscayaan.
"Kondisi pandemi mengharuskan kita untuk menempatkan transformasi digital menjadi suatu prioritas jika kita tidak mau ditinggalkan oleh para nasabah," ujar Heru.
Selama pandemi, tuntutan akselerasi digital semakin mengemuka didorong perubahan harapan publik akan adanya layanan keuangan yang lebih cepat dan lebih efisien. Bank dituntut dapat melayani nasabah dengan lincah agar dapat bertahan dan juga berdaya saing.
Merespon hal itu, otoritas pun merilis Peraturan OJK (POJK) No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum guna memberikan landasan bagi perbankan dalam mengakselerasi perbankan digital. Beleid yang sudah lama ditunggu itu pun patut diapresiasi.
Dalam aturan tersebut, OJK memperkuat aturan kelembagaan mulai dari persyaratan pendirian bank baru, aspek operasional, sampai pengakhiran usaha antara lain penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank dan jaringan kantor, peningkatan modal bagi pendirian bank baru, dan pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital atau pendirian bank digital.
OJK juga mempertegas pengertian bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Baca juga: Dukung industri halal, BSI fokus UMKM dan layanan digital
Digitalisasi layanan
Bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent) ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking, dapat disebut sebagai bank digital. Regulator tidak mendikotomikan atau memisahkan antara bank yang telah memiliki layanan digital, bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank).
Bankir senior Jahja Setiaatmadja mengatakan, bank konvensional memang melayani seluruh nasabah dari berbagai segmen dan usia, namun bank digital dibutuhkan karena ada target pasar tertentu atau disebut niche market yaitu generasi milenial dan generasi Z yang lebih melek dan terbiasa dengan dunia digital. Generasi tersebut membutuhkan layanan khusus yang bisa diberikan oleh bank digital.
"Di bank konvensional itu ada nasabah dari usia 18-20 tahun sampai usia 90 tahun, dan tidak semua digital savvy. Tentu kita akan tetap melayani mereka dengan produk-produk yang mereka sudah comfortable, tapi untuk generasi muda tentunya kita harus siap menyediakan digital sebagai alat yang memudahkan mereka bertransaksi," kata Jahja.
BCA saat ini melayani hingga 40 juta transaksi per harinya di mana 86,3 persen sudah dilakukan di luar cabang, 13 persen dilakukan di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang didominasi setor dan tarik tunai, dan hanya 0,7 persen nasabah yang datang ke kantor cabang.
Digitalisasi tampak jelas mengurangi aktivitas nasabah di kantor cabang, walau memang tidak bisa menggantikan keberadaan kantor cabang itu sendiri. Karena tidak bisa dipungkiri masih ada nasabah-nasabah yang belum siap menerima digitalisasi dan masih nyaman dengan layanan perbankan langsung, serta transaksi-transaksi bernilai besar yang masih harus dilakukan secara fisik. Bank digital pun hadir dan akan lebih fokus melayani transaksi individual dan ritel.
Semakin ketat
Ke depan, kompetisi di pasar bank digital diprediksi akan semakin ketat dengan semakin banyaknya pemain baru. Berdasarkan data OJK, total ada 14 bank, baik yang tengah dalam proses go digital maupun yang sudah mengklaim sebagai bank digital antara lain Bank BCA Digital, PT BRI Agroniaga Tbk, PT Bank Neo Commerce Tbk, PT Bank Capital Tbk, PT Bank Harda Internasional Tbk, PT Bank QNB Indonesia Tbk, PT KEB HanaBank, Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, TMRW Bank UOB, Jago dari Bank Jago, MotionBanking dari MNC Bank, dan Bank Aladin.
Kendati begitu, Jahja memperkirakan dalam satu dekade ke depan, hanya akan ada tiga bank digital yang akan bertahan dan memimpin pasar bank digital.
Ekonom senior Institute for Development of Economics anda Finance (Indef) Aviliani juga sepakat dengan Jahja. Tren perkembangan bank digital luar biasa meski kecenderungannya di Indonesia bank digital konsepnya masih hybrid alias masih tetap ada kantor cabang, tidak menjadi neobank yang benar-benar tanpa kantor cabang. Hal itu disebabkan perusahaan atau korporasi yang menyimpan dananya di bank masih didominasi oleh orang yang berusia di atas 50 tahun alias baby boomers yang cenderung harus dilayani.
Dengan digitalisasi, ke depan memang akan lebih banyak transaksi dari nasabah ritel. Ini yang ramai-ramai digarap oleh bank digital walau nanti banyak faktor yang menentukan seberapa jauh bank digital tersebut tetap eksis.
"Kita lihat trennya bank digital ini ke depannya akan terjadi semacam euforia bahwa semuanya ingin menjadi bank digital, tapi pada saatnya itu akan juga terjadi seleksi secara alami karena bank digital itu tentu saja bicara tentang economic of scale atau skala ekonomi. Jadi kalau skala ekonominya itu tidak besar-besar, otomatis ia tidak akan mampu," ujar Aviliani.
Penilaian tersebut berkaca dari fenomena di industri e-commerce yang tadinya tumbuh namun kemudian sebagian besar pelakunya terengah-engah atau bahkan tumbang karena tidak mencapai skala ekonomi atau hanya hidup untuk operasional saja.