Rantau (ANTARA) - Tradisi nenek moyang masih melekat di kehidupan masyarakat Dayak di Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Salah satunya “Aruh”, tradisi itu digelar saat hasil panen padi melimpah.
Di Kalimantan Selatan masyarakat Dayak khususnya di sepanjang lereng meratus memiliki tradisi yang serupa untuk menyampaikan syukur atas keberhasilan panen, hanya saja disetiap daerah memiliki cara masing-masing.
Kecamatan Piani yang letak geografirnya berada di area perbukitan itu berpenduduk 5.965 jiwa, dari delapan desa diantaranya ada empat desa yang dihuni masyarakat adat dayak diantaranya Pipitak Jaya, Harakit, Batung dan Balawaian.
Di empat desa itu memiliki balai adat masing-masing dan memiliki tradisi yang sama ketika mengekspresikan syukur atas hasil panen yang melimpah, penduduk lokal menyebutnya “Aruh”.
Dalam pelaksanan aruh itu biasanya dilaksanakan selama tujuh hari atau 12 hari di balai adat, berbagai macam kegiatan dilakukan di sana, selain sebagai ungkapan syukur di dalam aruh itu juga dilaksanakan tolak bala (meminta keselamatan), pengobatan, penyampaian harapan dan doa.
Jauh hari sebelum aruh, masyarakat dari masing masing desa adat itu saat musim tanam tiba sudah menyiapkan lahan padi bernama “pataungan”. Lahan itu dikhusukan untuk kebutuhan aruh.
Lahan pataungan itu, dikelola bersama secara gotong royong oleh masyarakat, mulai dari ritual menanam menggunakan musik kangkurung sampai panen tiba.
Setelah panen selesai, masyarakat berkumpul di balai ada satu keputusan dari tiga pilihan : Aruh Ganal, Aruh Halus, atau tidak sama sekali. Keputusan itu tergantung dari hasil penen, dari cerita masyarakat sangat jarang aruh itu ditiadakan. Terkait “Ganal” atau besar dan “Halus” atau kecil perbedaannya hanya terkait porsi pelaksanaan namun kegiatan di dalamnya sama saja.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil ladang padi 2020 lalu tercatat ada 9.695 ton sedangkan padi sawah hanya 27 ton dikarenakan letak geografirnya pemukiman berada di kawasan dataran tinggi rata rata ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Terkait hasil panen tahunan yang diperoleh masyarakat biasanya disimpan untuk kebutuhan hidup sampai panen di tahun berikutnya.
Hasil bumi di sana tidak hanya padi, masyarakat juga menanam pisang, kacang, cabai, kemiri, ubi dan lainya.
Prosesi Aruh
Pelaksanan aruh tidak hanya dikuti pemeluk agama leluhur namun juga diikuti oleh masyarakat keturunan Dayak yang sudah berpindah agama ke Islam, Kristen ataupun Hindu. Pluralisme tertanam dikehidupan masyarakat di sana, hingga kebudayaan seperti aruh tetap terlaksana hingga sekarang.
Pelaksanaan aruh itu dipimpin oleh para Balian (laki-laki) dan didampingi oleh Panjulang (wanita). Balian dan Panjulang itu memiliki peran penting dalam prosesi aruh ataupun di dalam kehidupan masyarakat adat.
Menelaah sekilas kegiatan di dalam aruh, mengambil cerita dari Pang Balum (63) salah satu Balian yang menjadi sepuh di masyarakat adat.
Aruh diawali dengan ritual Kalangkang Mantit setelah itu dilakukan kegitan diantaranya Bapincuk, Mambuka Lawang, Babalian Batahur Danda, Babalian Bapanikan, Bagantung Langgatan, Babalian Ribut Kualu, Babalian Bintang Salaan, Babalian Bahantu. Itulah sekilas nama nama kegitan yang memiliki filosofi mendalam tentang sejarah, tatanan kehidupan dan tuhan bagi masyarakat Dayak di sana.
Tidak ada judi ataupun minum minuman keras dalam tradisi mereka, untuk hiburan di dalam balai ada yang namanya Batandik dan Babansai dengan iringan musik dari sarunai dan gendang.
Batandik dilakukan oleh para laki laki, semua orang yang hadir baik orang balai ataupun tamu undangan bisa menari mengelilingi langgatan sembari menghentakan kaki di lantai berbahan kayu ulin hingga mengeluarkan irama hentakan.
Babansai dilakukan oleh para wanita, sama seperti Batandik juga bisa diikuti oleh semua orang. Babansai diiringi musik dengan ritme pelan, para wanita menggunakan sarung menari pelan membentuk lingkaran.
Kedua hiburan itu ditujukan untuk melepas lelah dan menjalin hubungan sosial antara orang balai dan tamu undangan. Dari anak anak sampai orang tua diperbolehkan mengikuti kegitaan itu.
Ornamen dalam balai adat
Balai adat yang memiliki satu ruangan yang mampu menampung 200 orang lebih itu, saat masuk pemandangan mata disuguhi hiasan janur kuning yang dibentuk sedemikian rupa menghiasi ornamen penting dalam kegiatan aruh.
Ornamen inti dalam balai itu adalah langgatan yang digantung dari atap sampai hampir ke meja yang diberi nama meja baidar. Langgatan itu memiliki lima tingkatan, dari bawah mengerucut keatas. Setiap tingkatan ada benda benda pusaka dan sesajian berupa kue khas yang dibentuk sedemian rupa dan jenis.
Janur kuning itu dikatan sepuh di sana menandakan kerukunan masyarakat di dalam wilayah adat itu.
Lokasi
Secara astronomis, Kecamatan Piani berada di antara 2’ 32’ 43” -3’00’43” Lintang Selatan dan antara 114’ 46’ 13’ -115’ 30’ 33” Bujur Timur.
Dari letak geografisnya Kecamatan Piani dari sisi Utara berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, di sisi Selatan berbatasan dengan Kabupaten Banjar. Luas wilayahnya 190,08 KM persegi.
Jarak antara Kecamatan Piani dengan kota Rantau (Ibu Kota Tapin) sekitar 30 KM, sedangkan Tapin dengan Banjarmasin (Ibu Kota Kalimantan Selatan) berkisar 100 KM.
Menuju ke Kecamatan Piani tepatnya di Desa Pipitak Jaya sudah berdiri proyek strategis nasional sebuah bendungan yang menenggelamkan dua desa , Februari 2021 lalu diresmikan oleh Prisedin Republik Indonesia Joko Widodo.
Bendungan itu tidak hanya sebagai pengendali banjir, kebutuhan irigasi, pembangkit listrik, namun juga sebagai objek wisata andalan Kalsel.
Di wilayah itu juga terdapat habitat hewan endemik Kalimantan seperti enggang dan owa, keberadaanya ada di kawasan hutan adat masyarakat adat yang masih memiliki pohon pohon besar dan tua.