Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), H Syaifullah Tamliha, menyampaikan keprihatinannya terkait terjadinya kelangkaan LPG 3 Kilogram (Kg), yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Ia mengatakan, untuk mengatasi kelangkaan ini, diharapkan PT Pertamina konsisten dengan menerapkan kebijakan One Villege One Outlet (OVOO) atau satu desa satu pangkalan.
"Pertamina dalam distribusi, hendaknya memberikan kouta kepada agen berdasarkan pada banyak, dan sedikitnya jumlah pangkalan yang dimilikinya," katanya, dalam keterangan, melalui sambungan telepon, Kamis (3/9) siang.
Baca juga: DPRD Kalsel segera undang pertamina terkait masalah BBM
Dijelaskan dia, agen LPG 3 kg yang sedikit memiliki pangkalan atau tidak melaksanakan program OVOO, semestinya dikurangi kouta atau diberikan sanksi (punishment).
Dan apabila Pertamina tidak konsisten dengan program OVOO tersebut, maka menurut dia kelangkaan LPG 3 kg di Kalsel sampai kiamat tetap menjadi barang yang langka dan mahal.
Padahal tidak ada keputusan DPR dan Presiden untuk mengurangi subsidi LPG 3 kg, bahkan pihaknya di Badan Anggaran DPR sudah sepakat untuk menaikkan koutanya dari enam juta ton pada Tahun Anggaran (TA) 2020, menjadi tujuh juta ton pada TA 2021.
Baca juga: Pedagang kecil keluhkan harga LPG 3 Kg yang mahal
"Ini seiring dengan kebijakan pemerintah di masa pandemi COVID-19, dan untuk membantu masyarakat yang daya belinya mulai melemah karena terdampak," katanya.
Diketahui saat ini di beberapa wilayah di Kalsel mengalami kelangkaan dan berimbas tingginya harga LPG 3 kilogram, seharusnya LPG 3 kg dijual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp18 ribu, namun banyak warga mengeluh karena harus membeli di atas HET seharga Rp23 ribu per tabung bahkan lebih.
LPG di Kalsel langka, Pertamina diharapkan terapkan satu desa satu pangkalan
Kamis, 3 September 2020 13:22 WIB
Tidak ada keputusan DPR dan Presiden untuk mengurangi subsidi LPG 3 kg, bahkan pihaknya di Badan Anggaran DPR sudah sepakat untuk menaikkan koutanya dari enam juta ton pada Tahun Anggaran (TA) 2020, menjadi tujuh juta ton pada TA 2021,