Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menekankan pentingnya penguatan regulasi perlindungan konsumen bila ke depannya kebijakan pajak digital diterapkan.
"Perlindungan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi dan merupakan instrumen penting untuk pemerintah siapkan sebelum mengimplementasi pajak digital," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU yang belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya.
Padahal, lanjutnya, kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen.
Ia berpendapat bahwa meski Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah dilegalisasi untuk memberikan perlindungan konsumen digital, contohnya aturan terkait iklan digital, peraturan tersebut belum bisa menjamah jasa digital yang berbeda karakteristiknya dengan penjualan barang secara daring.
"Baik Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maupun PP Nomor 80 Tahun 2019 belum memisahkan barang dan jasa, padahal mereka memiliki karakteristik yang berbeda. UUPK bahkan belum mencakup transaksi online sama sekali. Contohnya terkait kontrak digital, yang merupakan instrumen penting perlindungan konsumen," jelas Ira.
Selain UU Perlindungan Konsumen, Ira juga menemukan bahwa regulasi saat ini belum mampu menjamin adanya lingkungan digital yang aman bagi konsumen, seperti pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Siber) masih belum mengalami kemajuan signifikan.
Ia mengingatkan bahwa konsumen membayar pajak pada pemerintah, yang artinya pemerintah harus pastikan perlindungan konsumen pada transaksi tersebut. Pajak menjadi kontrak konsumen dengan pemerintah secara tidak langsung bahwa pemerintah akan memberikan pelayanan publik jika terjadi satu hal dan yang lainnya.
"Jangan sampai, konsumen membayar pajak tetapi masih khawatir datanya disalahgunakan, atau merasa tidak aman melakukan transaksi. Pada hal ini, yang dirugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pemerintah karena tidak dapat mengembangkan ekonomi digital," ujarnya.
Ira menegaskan pemerintah harus pastikan besaran pajak yang proporsional sehingga tidak menghambat kemajuan ekonomi digital di Indonesia, serta harus dipastikan juga dampak atas pajak ini adalah kepada pelayanan publik yang lebih baik.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginginkan aturan terkait pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari perusahaan digital luar negeri yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik, berlaku sama di semua negara.
"Semua negara berkepentingan, kalau bisa aturannya itu sama untuk seluruh dunia," katanya ketika pemaparan kinerja APBN per Mei 2020 secara virtual di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Dengan aturan yang sama itu diharapkan memberikan manfaat yang adil dari perusahaan digital yang mendapatkan keuntungan di suatu negara namun berdomisili di luar negeri, salah satu contohnya Netflix.
Berdasarkan perjanjian pajak internasional yang lama, kata Menkeu, mengharuskan perusahaan hadir secara fisik. Namun, seiring perkembangan teknologi mereka bisa memberikan layanan yang dinikmati konsumen suatu negara namun perusahaan ini tidak berada di dalam wilayah yuridiksi negara tersebut.
Saat ini, pemungutan PPh dari perusahaan digital itu sedang dalam pembahasan sejumlah negara baik di G-20 dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) maupun pembahasan secara bilateral. "Jadi dalam soal ini kita akan terus kerja sama secara internasional karena ini bukan masalah bukan hanya dihadapi Indonesia, semua negara menghadapi juga," katanya.
Peneliti tekankan perlindungan konsumen pada kebijakan pajak digital
Jumat, 19 Juni 2020 9:07 WIB