Oleh Syamsuddin Hasan
Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Pakar komunikasi dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Drs Fakhrianor MSi menyarankan, masyarakat sebaiknya menggunakan "kontrak politik" terhadap calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2014.
"Menurut saya sistem kontrak politik akan lebih jelas dan efektif daripada mengharap `money politics` (politik uang)," lanjut Ketua Program Studi (Prodi) Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unlam tersebut, di Banjarmasin, Jumat.
Karena dengan sistem kontrak politik, menurut dia, bukan cuma sasaran dan tujuannya yang jelas, tapi juga hasil bisa lebih makna bagi kemaslahatan bersama.
Sementara politik uang, selain manfaatnya terkesan sesaat, juga kecil dan sangat personal atau cenderung individual, lanjutnya menjawab Antara Kalimantan Selatan, usai dialog interaktif di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin.
Ia mencontohkan kontrak politik berupa penandatanganan janji calon anggota legislatif (caleg) terhadap masyarakat pemilih dalam suatu kawasan permukiman tertentu.
"Janji itu sudah barang tentu sesuai tingkat celag serta kompetensi atau perkiraan kewenangan. Sebagai contoh calon anggota DPRD provinsi, maka kompetensi perjuangannya sebatas provinsi tersebut," tuturnya.
Dalam perjanjian atau kontrak politik itu, misalnya si caleg akan memperjuang perbaikan jalan lingkungan atau hal-hal lain yang bersifat kepentingan umum, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat.
"Jadi kalau caleg itu nanti terpilih sebagai wakil rakyat, maka secara moral berkewajiban merealisasi atau memperjuangkan yang termuat dalam kontrak politik tersebut," lanjutnya.
Mengenai kemungkinan permainan politik uang semakin menjadi-jadi pada Pemilu 2014, dia menyatakan, hal tersebut mungkin saja terjadi, kalau melihat fenomena masyarakat serta pemain-pemain politik belakangan ini.
Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab bersama, bagaimana cara meminimalkan politik uang tersebut, sehingga hasil Pemilu 2014 lebih berkualitas dari Pemilu sebelumnya.
"Karena kalau cuma menyerahkan tanggungjawab kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang jumlah personalianya sedikit, maka suatu hal yang mustahil menghasilkan Pemilu yang berkualitas," demikian Fakhrianor.