Banjarmasin (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Selatan mendorong ekspor minyak kelapa sawit tidak lagi dalam bentuk crude palm oil (CPO) atau bahan baku, tetapi berbentuk olahan (produk hilir).
"Saat di Kabupaten Kotabaru, sudah ada 2 pabrik refinery (sulingan) dan 1 unit pengolah biosolar dengan kapasitas olah sekitar 6.500 ton/hari atau 1,95 juta ton/tahun," terang Pembina GAPKI Kalsel Totok Dewanto di Banjarmasin, Selasa.
Menurut Totok, industri hilir turunan dari minyak sawit sangat potensial untuk terus dikembangkan. Saat ini, minyak sawit selain diperlukan untuk bahan pangan (bio-food), juga untuk bahan campuran kimia (bio-oleochemical) dan bahan energi (bio-energi).
"Dalam jangka panjang minyak sawit akan dibutuhkan dunia karena merupakan penghasil minyak yang paling produktif dan hemat penggunaan lahan dibanding dengan minyak nabati lainnya," jelas Wakil Ketua Koperasi Jasa Profesi Cipta Prima Sejahtera itu.
Kemudian dibanding dengan minyak nabati lain, sawit hanya perlu lahan 10 kali lebih kecil untuk memproduksi minyak, sehingga lebih hemat lahan yang diperlukan, termasuk dalam hal deforestasi (penebangan hutan).
Di Kalsel saat ini telah ditanam kelapa sawit seluas 409.000 hektare dari 50 anggota Gapki yang terus berkomitmen mendukung perkembangan industri sawit berkelanjutan.
Pada 4 April 2020, Kalsel akan menjadi tuan rumah "Borneo Palm Oil Forum" yaitu ajang pertemuan seluruh stakeholder dari industri kelapa sawit di tanah Kalimantan.
"Salah satu isu yang akan kami angkat yakni mendorong industri hilir minyak sawit untuk memperoleh nilai tambah, sehingga mendukung pula migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri," tandasnya,
Baca juga: Kementan pacu ekspor unggulan pertanian Kalsel
Baca juga: Tofan Mahdi, memperjuangkan bangsa dengan industri sawit
Totok adalah ketua panitia Borneo Palm Oil Forum 2020 yang memiliki kebun sawit di Kabupaten Tanah Laut dan Barito Kuala (Kalsel) dan Kapuas (Kalteng).