Jakarta (ANTARA) - Sah. Presiden Joko Widodo, Senin (26/8/2019), resmi mengumumkan ibu kota pemerintahan pindah dari Jakarta ke Kalimantam Timur yang berlokasi di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Setelah diumumkan, pro dan kontra pemindahan ibu kota kembali mengemuka.
Pasalnya, ada yang berpendapat pemindahan pusat pemerintahan tidak perlu karena banyak yang lebih penting harus diselesaikan pemerintah. Meski begitu, banyak juga yang mendukung dengan alasan Jakarta semakin padat, boros energi ratusan triliun rupiah per tahun akibat kemacetan, memeratakan jumlah penduduk, hingga Kalimantan Timur diperkirakan tahan terhadap gempa.
Semangat pemerintah untuk memindahkan ibu kota sepertinya tidak main-main. Kementerian dan lembaga seakan bergerak cepat mempersiapkan diri mulai soal lokasi, pembangunan infrastruktur fisik, hingga sumber pendanaan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan anggaran yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota mencapai Rp466 triliun. Angka itu adalah angka pada saat ini.
Dari jumlah itu, yang bersumber dari anggaran negara atau APBN hanya sebesar 19 persen, selebihnya didanai dari investasi swasta dan BUMN.
Dana itu akan digunakan untuk pembangunan sejumlah gedung meliputi istana negara, gedung legislatif, yudikatif, eksekutif dan bangunan strategis untuk TNI dan Kepolisian Indonesia.
Selain itu, juga untuk bangunan pendukung seperti rumah dinas untuk ASN dan TNI dan Kepolisian Indonesia, sarana pendidikan seperti gedung sekolah dan perguruan tinggi, sarana kesehatan dan lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya, biaya pemindahan ibu kota juga untuk penyediaan fungsi penunjang, meliputi sarana dan prasarana jalan, listrik, telekomunikasi, air minum, drainase, pengolah limbah, biaya pengadaan lahan dan lainnya.
Nur-Sultan
Pemindahan ibu kota suatu negara bukan hal baru di dunia. Sejumlah negara yang berhasil memindahkan ibu kota antara lain Australia dari Melbourne di Victoria ke Canberra, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Pakistan dari Karachi ke Islamabad, Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, Myanmar dari Yangon ke Naypidaw, dan Kazakhstan dari Almaty ke Astana (kini berubah nama menjadi Nur-Sultan pada Maret 2019).
Dari sederet negara yang memindahkan ibu kota, Kazakhstan dinilai bisa menjadi rujukan karena dalam waktu cukup singkat berhasil memindahkan ibu kotanya dari Almaty ke Nur-Sultan.
Semua ibu kota negara sebagai ibu kota pemerintahan yang dipindahkan itu ada di daratan yang sama dengan ibu kota terdahulunya alias masih di pulau atau benua yang sama. Yang paling jauh jaraknya adalah Rio de Janeiro ke Brasilia dan paling dekat adalah Kuala Lumpur ke Putrajaya.
Untuk itu, delegasi DPD yang dipimpin Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis, pada Senin (23/9/2019) mengunjungi Kantor Wali Kota Nur Sultan, Kazakhstan, untuk mempelajari kesuksesan negara itu memindahkan ibu kota negara itu dari Almaty ke Astana (Nur-Sultan).
"Kunjungan ini memberikan pelajaran dan referensi bagi kita atas keberhasilan Kazakhstan memindahkan ibu kota, hongra pembangunannya yang berkelanjutan,” ujar dia.
Banyak yang bisa dipetik, mulai dari proses keputusan penetapan ibu kota, pembangunan infrastruktur dasar, tahapan pemindahan kantor pemerintahan, pemindahan pusat kementerian/lembaga, pemindahan aparatur sipil negara (ASN), hingga pengaturan tata kota.
“Mereka (Nur-Sultan) mampu mempertahankan alur sungai, penghijauan, pengaturan lalu lintas. Di Nur-Sultan juga ada semacam pengaturan agar tidak terjadi urbanisasi,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah Kazakhstan juga konsisten mempertahankan kawasan hijau terutama di daerah aliran sungai. Semua bangunan juga diatur dan dibatasi ketinggiannya maksimal hanya 300 meter.
Di sisi lain, warga yang tinggal di luar lingkaran kota tetap diberikan kesempatan untuk memberikan hasil usaha mereka tanpa harus bekerja di kota.
“Setelah kita pelajari bahwa, yang tidak kalah penting dalam membangun ibu kota baru pemerintah harus melibatkan swasta. Tapi swasta yang benar-benar bekerja, jangan ada kongkalikongnya,” kata Lubis.
Tantangan
Sesungguhnya tidak mudah memindahkan ibu kota sebuah negara.
Banyak faktor yang dibutuhkan, mulai dari keputusan politik, ketegasan dalam menjalankan peraturan, psikologis masyarakat hingga pembiayaan yang besar dan berlanjut.
Seperti diungkapkan staf ahli pemindahan ibu kota Kazakhstan, Farid Gulinov.
Saat bertemu dengan Lubis, Gulinov mengatakan bahwa upaya pemerintahan Presiden Kazakhstan, Nur Sultan Nazarbayev, yang mewacanakan pemindahan ibu kota dari Almaty ke Astana pada 1997 tidak berlangsung mulus karena sempat ditentang rakyat Kazakhstan.
Saat itu, banyak yang protes karena ibu kota Astana memiliki iklim yang lebih ekstrim dibanding Almaty yang bersahabat.
Masalah berikutnya, penataan, penyediaan infrastruktur, penyediaan gedung-gedung pemerintah, tempat tinggal pegawai yang tidak bisa dipenuhi dalam jangka pendek.
Selanjutnya, lokasi Almaty berada di selatan Kazakhstan yang berbatasan langsung dengan sejumlah negara lainnya sehingga secara psikologi lebih baik dicarikan lokasi yang agak jauh ke tengah Kazakhstan.
"Astana itu berada agak di tengah-tengah bisa ke barat bisa ke timur, sehingga permasalahan kebutuhan pokok, kebutuhan lainnya bisa dipasok dari wilayah sekitar," ujarnya.
Gulinov yang kini dipercaya memimpin industri kereta api Kazakhstan tersebut mengatakan, yang paling utama dalam pemindahan ibu kota terletak pada keberanian pemerintah dalam memutuskannya.
Ia membeberkan, bahwa keputusan pemindahan ibu kota Kazakhstan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan parlemen yang diperkuat dengan Dekrit Presiden.
Pemerintah kemudian membentuk tim penyusunan persiapan pemindahan ibu kota beranggotakan 35 orang yang dikepalai Wakil Perdana Menteri.
Sedangkan terkait pendanaan, ketika itu pendapatan Kazakhstan dari minyak belum begitu besar sehingga disiasati memanfaatkan dana nonbujeter di luar anggaran khusus pemindahan ibu kota.
Kazakhstan saat awal-awal proses pemindahan ibu kota terkendala biaya, terutama selepas dari Uni Soviet di mana negara itu tidak memiliki duit banyak.
Wakil Walikota Nur-Sultan, Malika Bekturova, mengatakan sejak awal konsep pembangunan Astana mengedepankan prinsip simbiosa alam dengan konstruksi, di mana hampir semua bangunan dibuat tidak menjorok ke jalan raya, melainkan di tengah kavling dengan halaman luas.
"Kami berusaha mempertahankan ruang terbuka hijau. Bahkan dari 79.737 ha luas Astana, sebanyak 43. 322 ha di antaranya tetap berupa hutan," ujar Bekturova.
Sedangkan Director of Astanagenplan, Arseniy Dirozhkov mengatakan bahwa Nur-Sultan dirancang sebagai kota polisentris, agar warga dekat ke mana-mana.
Meski mandiri, Nur-Sultan tetap tergantung pada kontribusi warga lain di sekitarnya untuk memasok kebutuhan warga kota, seperti hasil pertanian, peternakan, produk-produk sekunder lainnya. Dengan begitu, diharapkan tidak semua orang harus ke kota untuk bekerja.
Tidak selalu mulus
Pemindahan ibu kota Kazakhstan yang tidak selalu mulus diungkapkan Duta Besar RI untuk Kazakhstan Rahmat Pramono.
Awalnya, tidak semua warga Kazakhstan setuju dengan pemindahan ibu kota negara. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat merasakan bahwa keputusan tersebut merupakan yang terbaik.
“Untuk merealisasikan pemindahan ibu kota dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, karena proses itu membutuhkan waktu yang panjang dan perlu kajian yang matang," tutur Rahmat.
Meski resmi memindahkan ibu kota ke Astana pada 10 Juni 1998, hingga kini pembangunan di Nur-Sultan masih terus berproses.
Sampai sekarang mungkin bisa dikatakan pembangunan kota Kazakhstan sudah mencapai 90 persen, tapi tidak bisa juga disebut 100 persen, karena pembangunannya masih tetap berjalan hingga saat ini.
Pemerintah Kazakstan boleh jadi dibilang berhasil menyulap kawasan yang dulunya berupa savana menjadi sebuah kota yang bervisi dan bahkan smart city.
Sebagian besar gedung di Nur-Sultan dibangun futuristik, dengan mengusung konsep cluster. Kantor pemerintahan, kementerian berada di satu lokasi yang sama. Demikian juga kantor kedutaan berada dalam areal yang sama.
Sejak resmi dibangun menjadi ibu kota pemerintahan, Nur-Sultan sudah menghabiskan anggaran sekitar 35 miliar dolar AS, atau setara dengan sekitar Rp496,82 triliun.
Kini, Kazakhstan dengan jumlah penduduk sekitar 18,5 juta jiwa tersebut menjelma menjadi negara yang memiliki GDP per kapita terbesar di Asia Tengah.
Pada akhir 2018, Nur-Sultan menyumbang 9,8 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Kazakhstan. Dari hanya ribuan penduduk, kini Nur-Sultan dihuni 1,1 juta jiwa atau sekitar 5,9 persen dari total populasi Kazakhstan.
Di tingkat global, Kazakhstan pun semakin menunjukkan perannya. Pada Maret 2018, Nur-Sultan kali pertama masuk sebagai salah satu pusat keuangan dunia berdasarkan Global Financial Centers Index di posisi 88. Kemudian naik ke ranking 51 pada 2019 dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tengah dan Eropa Timur.
Dengan segala capaian itu, tampaknya relatif sulit untuk tidak mengaitkan dampak positif pemindahan ibu kota bagi pembangunan Kazakhstan secara keseluruhan.
Melihat keberhasilan pemindahan ibu kota Almaty ke Nur-Sultan, mungkin bisa menjadi pendorong atau menginspirasi pemerintah Indonesia untuk menapaki jalan yang sama. Tentu tidak serta-merta mengikuti secara utuh langkah yang diambil Kazakhstan, namun sebagian besar alasan pemindahan ibu kota negara itu juga ada di Jakarta.