Pembuktian terhadap pelanggaran pemilihan umum kepala daerah sangat sulit dilakukan meski hal tersebut tidak menutup kemungkinan pelanggaran itu terjadi.
Hal tersebut membuat pembuktian terhadap pelanggaran pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) terkesan sia-sia, ungkap pengamat hukum dan politik, Rifqinizami kepada ANTARA di Banjarmasin, Sabtu.
Pengaduan pasangan calon kepala daerah yang kalah lumrah terjadi dan selalu diiringi dengan bukti-bukti pelanggaran seperti apa yang telah disangkakan, tambahnya.
Namun demikian, sering kali bukti-bukti yang diajukan tersebut dianggap kurang kuat dan dimentahkan oleh pihak berwenang yakni panitia pengawasan pemilu atau kepolisian terhadap pelanggaran pidana.
Oleh sebab itu, sebelum mengadukan pelanggaran Pilkada seharusnya pasangan calon kepala daerah yang kalah mempersiapkan bukti- bukti yang cukup dan masuk akal sehingga tidak dapat dimentahkan.
Pengaduan pelanggaran Pilkada agar dilakukan Pilkada ulang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tiga hari setelah pengumuman hasil suara oleh KPU setempat.
"Didalam ilmu hukum satu barang bukti bukan barang bukti sehingga sebelum mengadukan pelanggaran barang bukti harus disiapkan sebanyak-banyaknya," ucap dosen fakultas hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu.
Pasangan calon Wali Kota Banjarmasin, Ahmad Yudhi Wahyuni dan Haryanto atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Ayuha" mendirikan Posko Pengaduan Kecurangan Pilkada.
Posko tersebut didirikan di Sekretariat Ayuha di Jalan Kampung Melayu Banjarmasin, ungkap Yudhi Wahyuni saat menggelar jumpa pers.
Dengan adanya pendirian posko itu, pengaduan masyarakat dapat diterima tim yang nantinya akan menjadi dasar pengaduan kepada Panwaslu Kota Banjarmasin, tambahnya.
Hingga kini tim Ayuha telah melaporkan sejumlah pelanggaran kepada Panwaslu Kota Banjarmasin beserta sejumlah bukti pelanggaran dugaan terjadinya politik uang.