Jakarta (ANTARA) - Tidak semua negara dianugerahi alam yang sempurna seperti Indonesia, dengan letak geografis yang dilintasi garis khatulistiwa, Tuhan menghadiahi Indonesia dengan berjuta variasi tanaman tropis yang hanya bisa tumbuh di negeri ini.
Salah satu dari tanaman tersebut adalah kelapa sawit. Indonesia, Malaysia, sebagian kecil kawasan Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Latin memiliki syarat iklim dan curah hujan yang tepat bagi tanaman penghasil minyak nabati ini untuk bisa tumbuh subur.
"Setidaknya pulau-pulau yang berada di sekitar 2 derajat dari garis khatulistiwa, pasti kelapa sawitnya bisa subur. Kalau di Indonesia, daerah utara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kalau di Jawa ya sudah tidak bagus lagi, karena tanahnya pun kurang sesuai," kata Kuasa Direksi PT Unggul Widya Teknologi Lestari Mochtar Tanong di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, Rabu (1/5).
Bicara tentang produksinya, Indonesia menjadi penghasil terbesar minyak kelapa sawit di dunia dengan volume sebesar 46 juta ton per tahun. Meski saat ini harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sedang tertekan, nyatanya komoditas ini telah memberikan devisa sebesar 20,54 miliar dolar AS pada 2018 (data GAPKI Tahun 2019)
Besarnya kontribusi ini tidak luput dari penanaman dan perawatan perkebunan kelapa sawit. Selain menggunakan bibit unggul, pemupukan yang teratur, pencegahan hama dan penyakit tanaman juga harus dilakukan agar tidak mengurangi produksi dan kualitas tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan.
Pada tanaman kelapa sawit, hama tikus menjadi ancaman serius karena hewan pengerat itu dapat menurunkan produksi, bahkan menimbulkan matinya tanaman sawit yang masih muda hingga 30 persen.
PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terletak di Kecamatan Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, ini menggunakan burung hantu, hewan yang melakukan aktivitas pada malam hari, sebagai predator pengendali hama tikus.
Mandor Hama Penyakit Tanaman PT UWTL , Suwardi mengatakan bahwa burung hantu "Tyto Alba" ini merupakan jenis yang paling agresif karena bisa memakan tiga sampai empat ekor tikus dalam semalam.
"Untuk pembasmi hama, secara biologis, Tyto Alba ini sangat penting sekali bagi tanaman sawit. Dia bisa makan tiga sampai empat ekor tikus. Dia bisa memburu banyak tikus, tetapi hanya dibiarkan untuk dimakan esok harinya lagi," kata Suwardi.
Kemampuan berburu yang dimiliki Tyto Alba menjadi aset berharga bagi perkebunan kelapa sawit. Sebagai hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), tentu saja Tyto Alba memiliki indera penglihatan yang baik, namun tidak mengalahkan fungsi utama indera pendengarannya.
Dengan menajamkan pendengarannya, hewan ini dapat langsung mengetahui posisi tikus sebagai mangsa buruannya. Setelah yakin, ia menyergap mangsa dengan cakarnya untuk kemudian menelan utuh atau mencabik-cabik tubuh mangsa tersebut.
PT UWTL mulai menggunakan Tyto Alba pada 2012 dengan jumlah awal dua pasang burung hantu. Untuk mengembangbiakkan, perusahaan membuat penangkaran burung hantu sejak 2014. Di sini, burung hantu dengan usia di bawah 90 hari dipelihara sebelum akhirnya ditempatkan dalam guyon (gupon yang terbuat dari besi).
Saat ini sudah ada ribuan burung hantu yang terbang bebas di areal perkebunan, namun hanya 59 yang dimonitor dan ditempatkan dalam guyon. Dalam satu guyon, terdapat sepasang burung hantu yang dapat menjangkau mangsa cukup jauh hingga 20 hektare.
Penggunaan predator burung hantu ini sangat efektif daripada menggunakan racun tikus atau rodentisida. Racun tikus banyak memiliki kelemahan, antara lain dapat menimbulkan pencemaran bahan kimia terhadap lingkungan, serta menimbulkan bau bangkai di sekitar kebun.
Bunga di tepi jalan, bunga pukul sembilan
Selain tikus, hama ulat api juga menjadi musuh yang ditakuti dalam perkebunan kelapa sawit karena ulat ini kerap menggerogoti bagian daun yang dapat mengganggu pembentukan buah dan menurunkan produktivitas tanaman.
Menurut keterangan dari Sawit Indonesia, serangan ulat api diketahui dapat menurunkan produksi tanaman sawit sebanyak 25 persen pada tahun pertama dan 50 persen pada tahun kedua, kemudian mencapai 75 persen saat memasuki tahun ketiga.
Di sepanjang jalan perkebunan UWTL, bunga berkelopak putih atau dikenal dengan nama bunga pukul sembilan mengisi sisi-sisi luar areal penanaman kelapa sawit.
Bunga bernama latin Turnera subulata ini memiliki kelopak berwarna putih dengan bagian dalam agak kekuningan. Bagian daunnya berwarna hijau dengan panjang 2-7cm dan lebar 1-4 cm dengan bentuk daun elips berujung meruncing dan tepi daun bergerigi kasar.
Kehadirannya bukan untuk sekadar menghiasi perkebunan seluas 12.488 hektare itu, tetapi menjadi sumber makanan dan habitat ideal bagi sycanus, predator alami yang mampu memangsa ulat api.
"Kenapa disebut bunga pukul sembilan, karena mekarnya hanya pada waktu tertentu, dari jam delapan pagi sampai jam 12 siang. Ini bagus untuk mencegah ulat api," kata Suwardi.
Pengelolaan sawit berkelanjutan
Flora dan fauna ini menjadi predator alami untuk memangsa hama pengganggu tanaman sawit. Perusahaan bisa saja menggunakan pestisida untuk menanggulanginya, namun tentu bertentangan dengan implementasi pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan.
PT UWTL yang berdiri sejak 1985 ini telah mengantongi sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sejak lima tahun lalu sebagai bukti bahwa perusahaan berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dan peduli terhadap lingkungan.
Komitmen pemerintah juga diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang memuat Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). RAN-KSB ini menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha, LSM dan petani untuk berfokus pada industri sawit berkelanjutan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menargetkan sebanyak 70 persen perusahaan kelapa sawit memiliki sertifikasi ISPO pada 2020. Namun menurut Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, capaian sertifikasi ISPO baru sebesar 19,5 persen.
Sambil mengusahakan target itu di dalam negeri, pemerintah masih menyuarakan ISPO di ranah internasional agar lebih dikenal sebagai standar Indonesia akan pengelolaan sawit berkelanjutan.
Memberi pemahaman bahwa kelapa sawit merupakan solusi ekonomi dan bukan sebagai ancaman iklim atau lingkungan, juga termasuk dalam penyampaian rencana strategis kepada petani swadaya.