Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anisah Rasyidah adalah sosok wanita yang dikenal tangguh dan kuat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, terutama dalam mengangkat derajat perempuan untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Kiprahnya untuk mengangkat kesejahteraan keluarga sudah dimulainya sejak 26 tahun lalu, tepatnya tahun 1992 saat dia diterima sebagai PNS di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Sejak itu, Anisah yang merupakan anak ke empat dari enam bersaudara, bertekad untuk membantu para remaja di daerahnya, bisa mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang layak seperti halnya lak-laki.
"Kala itu, para orang tua masih sangat kolot dengan prinsipnya, bahwa bila perempuan terlambat menikah berarti tidak laku," katanya.
Prinsip turun temurun melekat dibenak para orang tua tersebut, menjadi tantangan yang tidak mudah baginya, untuk mencapai tujuannya, yaitu mengurangi angka pernikahan dini di HSU.
Beruntung suaminya Abdul Wahid, yang kala itu adalah seorang jurnalis, bisa memahami keinginan dan tekadnya, sehingga mendukung penuh dengan yang dia perjuangkan.
Mengendarai sepeda motor dinas warna biru, Anisah selalu berangkat pagi-pagi dari rumahnya menuju ke berbagai daerah di HSU, untuk melakukan sosialisasi.
Kondisi daerah HSU yang banyak terpisah oleh rawa-rawa dan saling berjauhan, tidak menyurutkan langkahnya untuk menjalankan tugasnya sebagai petugas KB.
"Dulu anak perempuan baru lulus SD hingga SLTP, sudah dinikahkan, karena khawatir menjadi perawan tua," kata ibu dua anak tersebut.
Kondisi tersebut, tambah dia, sungguh memprihatinkan, karena akibat dari pernikahan dini, menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan anak, karena belum siapnya reproduksi bagi wanita.
Selain itu, belum siapnya mental menghadapi berbagai kesulitan berumah tangga, termasuk perekonomian, juga menyebabkan tingkat perceraian cukup tinggi.
Kemiskinan, tambah dia, seakan menjadi "warisan", karena generasi penerus tidak mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan lebih baik.
Kala itu, tingkat pernikahan dini di HSU mencapai 70 persen dari tingkat usia remaja di daerah yang hampir 90 persen wilayahnya adalah rawa-rawa.
Kini, perjuangan tersebut telah membuahkan hasil, dan membawa karir Anisah semakin cemerlang.
"Sekarang, angka usia pernikahan dini bisa kami tekan secara signifikan, dari 70 persen menjadi tinggal 30 persen," kata Anisah yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten HSU.
Selain Anisah, suaminya Abdul Wahid, juga memiliki karir dan perjalanan politik yang cukup cemerlang, lepas dari tanggungjawabnya sebagai jurnalis, Wahid terpilih menjadi anggota DPRD HSU dari Golkar.
Perjalanan panjang politik Abdul Wahid, akhirnya membawanya terpilih menjadi Bupati HSU dua periode.
Karir politik suaminya, memudahkan Anisah untuk terus melebarkan kiprahnya, membantu para wanita terutama keluarga yang tidak mampu.
Program Wajib Belajar
Bekerjasama dengan dinas terkait, Anisah juga terus mengampanyekan pencegahan pernikahan dini melalui program wajib belajar 12 tahun.
"Dengan program belajar 12 tahun, maka anak-anak minimal akan menikah setelah usia 19 tahun, atau setelah lulus SLTA," katanya.
Melaksanakan program tersebut, tambah Anisah, pihaknya menggandeng anak-anak muda, untuk membantu menyosialisasikan berbagai program pendidikan dan bahanyanya pernikahan dini.
Anak-anak remaja, difasilitasi dan dikoordinasi melalui program generasi berencana, untuk turun ke masyarakat, memberikan pengertian kepada para orang tua, pentingnya pendidikan bagi teman-temannya.
Melalui bahasa remaja, ternyata program tersebut sangat berpengaruh terhadap kesuksesan HSU, menurunkan angka pernikahan dini, bahkan program ini, kini sangat ngetop di HSU, terlebih telah memenangi juara dua lomba nasional.
Anisah berkeyakinan, hanya dengan pendidikan, maka remaja putri HSU, akan maju dan terlepas dari jeratan kemiskinan dan keterbelakangan.
"Dampak dari pernikahan dini ini cukup besar bagi kehidupan sosial masyarakat," katanya.
Tingginya angka perkawinan anak selalu diiringi dengan tingginya tingkat perceraian dari perkawinan usia anak.
Hal ini menunjukkan, bahwa pengelolaan rumah tangga yang baik, belum dapat dilakukan oleh anak.
Dampak lain dari perkawinan anak yaitu kekerasan seksual, angka kematian ibu saat melahirkan, angka kematian bayi, perdagangan manusia, eksploitasi kerja, dan nikah tanpa pengesahan negara.
Dampak paling fatal dalam perkawinan usia anak adalah kehamilan dan persalinan dini, karena berhubungan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu yang belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.
Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun.
Secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan usia 15-19 tahun.
Tingkatkan ketrampilan
Menjadi istri Bupati HSU, juga dimanfaatkan Anisah melebarkan kiprahnya membantu perempuan meningkatkan ketrampilan, pendidikan dan kesejahteraan.
Melalui progam pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, Anisah mendorong para wanita untuk bisa mendapatkan penghasilan sendiri, menopang ekonomi keluarga.
Memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitarnya, antara lain adalah, ilung atau eceng gondok, tanaman purun, dan rotan serta berbagai potensi sumber daya makanan seperti itik, perikanan dan lainnya, kini para wanita HSU telah menjadi wanita tangguh dan terampil.
Berbagai potensi alam yang sebelumnya tidak berguna, mampu disulap oleh para wanita HSU menjadi kerajinan yang bernilai ekonomis tinggi.
Sehingga, HSU menjadi salah satu sentra industri kerajinan, yang sebagian besar hasilnya dijual bukan hanya di Kalsel, tetapi juga ke berbagai daerah di luar Kalsel.
Para pelatih dari Yogyakarta dan Banyuwangi yang handal dalam kemasan maupun kerajinan, didatangkan untuk meningkatkan kualitas hasil kerajinan HSU.
Anisah juga berupaya merangkul perempuan-perempuan kepala keluarga yaitu perempuan yang menghidupi keluarga dan membesarkan anaknya melalui jerih payahnya sendiri melalui yayasan PEKKA.
PEKKA atau Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga yang memulai kerjanya di Aceh tahun 2000 untuk mendampingi para janda yang menjadi korban konflik di Aceh.
Sekarang PEKKA telah menjadi sebuah organisasi massa berbasis keanggotaan yang bekerja dalam pemberdayaan perempuan kepala keluarga untuk menjamin kehidupan mereka.
Kini PEKKA adalah organisasi terbesar yang mewakili rumah tangga yang dikepalai perempuan di Indonesia, yang tergabung dalam kelompok-kelompok yang dinamakan kelompok serikat Pekka.
Pekka di HSU, kini juga terus berkembang dengan baik, sehingga wanita-wanita HSU akan semakin berdaya dan maju.
"Kita akan terus berupaya melahirkan kartini-kartini, yang akan mewakili perempuan-perempuan di Indonesia bisa berkiprah di pentas nasional dan internasional," katanya.
Karena sesungguhnya, perjuangan tidak boleh berhenti dengan tercapainya hak-hak perempuan, tetapi bagaimana bisa melahirkan pejuang-pejuang perempuan, yang bersedia memperjuangkan hak perempuan-perempuan lainnya, untuk terus maju dan berkembang.
Artikel - Anisah, lindungi wanita melalui pencegahan pernikahan dini
Minggu, 22 April 2018 10:54 WIB
Sekarang, angka usia pernikahan dini bisa kami tekan secara signifikan, dari 70 persen menjadi tinggal 30 persen