Rantau, (Antaranews Kalsel) - Praktisi Hukum Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkura Dr Anang Shophan Tornado mengatakan, bahwa perlu penerapan standarisasi angkutan online untuk mengatasi ramainya gejolak angkutan online beberapa waktu terakhir.
Pernyataan Dosen Magister Hukum Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat ini, menyikapi tentang ramainya persoalan terkait adanya taksi online yang kini juga mulai berkembang di daerah.
Menurut dia, UU 22 TAHUN 2009 masih relevan dan Permenhub 108 tahun 2017 sebagai jawaban keberadaan tentang berbagai persoalan angkutan onlien. Ramainya demo dari angkutan online yang menuntut keadilan dalam Permenhub Nomor 108 Tahun 2017, tambah dia, sejatinya harus kita sikapi secara proporsional.
Secara normatif dapat kita telaah dari pokok permasalahan yang ingin diatasi dalam Permenhub 108 Tahun 2017 yakni standarisasi angkutan online, yang pada output akan menghasilkan kenyamanan dan keamanan bagi pelaku dan pengguna angkutan online.
Kalaupun dalam tataran empiris terjadi gejolak dan tentangan dari para pihak terhadap Permenhub ini tentunya bukan berarti Permenhub ini tidak available untuk diterapkan. Seluruh pihak terkait, harus memahami bahwa peraturan atau hukum dalam arti luas senantiasa dibentuk untuk merekayasa sosial.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Roscue Pound “Law as a tool of social engineering” bahwa hukum yang interprestasikan sebagai alat merekeyasa sosial, maka itu kalau terjadi gejolak dalam tataran penerapan adalah hal yang wajar.
Karena merekayasa sosial bukanlah hal yang sederhana, sehingga perlu pendekatan yang komprehensif agar dapat tercapai. Dalam hal penegakan hukum, Menurut Soerjono Soekanto bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu ,1. Hukumnya sendiri 2. Penegak hukum. 3.Sarana dan fasilitas.4.Masyarakat. 5.Kebudayaan.
Dari kelima faktor diatas dapat saja kita analisis secara sederhana faktor mana yang perlu diperhatikan dan diperbaiki sehingga Permenhub 108 Tahun 2017 dapat diterapkan dengan ideal.
Namun apabila telah diterapkan dan benefit-nya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat maka dengan sendiri peraturan itu akan naik level menjadi peraturan yang “hidup” dengan kata lain berlaku dan ditaati di masyarakat.
Ada wacana yang menyatakan bahwa persoalan angkutan online akan teratasi ketika merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menganalisis ini perlu kita lihat urgensi permasalahan, apakah perlu sampai merevisi UU dan senyatanya saja sudah diatur dalam level Permen dan hanya terkenda pada masalah penerapan.
"Wacana revisi UU LLAJ terkesan terburu-buru, karena Permenhub ini secara usia masih sangat muda dan belum diujikan seraca nyata dilapangan," katanya.
Terapkan dulu Permenhub-nya dengan baik dengan memperhatikan faktor penengakan hukum tadi baru dievaluasi apa-apa saja yang perlu diperbaiki.
Selain itu ketika persoalannya hanya berkaitan dengan standarisasi angkutan online, seharusnya dengan norma berupa Permenhub memadai, ibarat atap rumah yang rusak apakah seluruh bagian rumah harus dihancurkan dan dibuat bangunan baru.
Artinya tidak perlu diatur dalam Undang-Undang kalau dengan Permenhub saja sudah dapat selesai permasalahan tersebut, karena permasalah ini dapat dikategorikan sektoral.
Kembali lagi tinggal bagaimana menenggakkannya, perlu sinergitas para pihak sehingga lancar dan tidak menimbulkan kegaduhan mengenai persoalan ini.
Kesimpulan, tidak serta merta dengan merevisi Undang-Undang 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan akan menyelesaikan persoalan angkutan online.
Secara substansi telah diatur dalam Permenhub Nomor 108 tahun 2017, titik permasalahan adalah dalam penengakannya harus benar-benar diperhatikan oleh semua pihak yang terkait.