Banjarmasin (ANTARA) - Persoalan dana daerah dan deposito milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) triliunan rupiah masih menjadi sorotan, walau terkesan tak masalah lagi.
Sebagaimana sorotan Anggota Komisi II Bidang Ekonomi dan Keuangan DPRD Kalsel Firman Yusi bahwa meskipun pendapatan bunga deposito adalah fakta, menempatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah besar di deposito menggeser prioritas penggunaan dana.
Baca juga: DPRD Kalsel selaraskan Raperda penyelenggaraan perdagangan ke Kemendag
"Filosofi APBD adalah sebagai stimulus ekonomi dan alat pembangunan, bukan semata-mata instrumen investasi. Risiko terbesar adalah anggapan bahwa pendapatan bunga tersebut lebih diutamakan daripada menjalankan program pemerintah," ujar Firman Yusi ketika dikonfirmasi, Selasa.
Anggota DPRD Kalsel dua periode itu menambahkan, bahwa bunga sebesar Rp21 miliar per bulan tidak akan pernah sebanding dengan manfaat ekonomi dan sosial yang hilang akibat penundaan penyerapan anggaran untuk proyek senilai triliunan rupiah.
"Dana yang didiamkan di bank adalah peluang pembangunan yang hilang," lanjut wakil rakyat asal daerah pemilihan Kalsel V/Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan dan Kabupaten Tabalong tersebut.
Sorotan alumnus Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu topik "APBD Kalsel 2025 : Prioritas Pembangunan vs Bunga Deposito" dengan paparan cukup menarik serta perlu menjadi perhatian bersama.
Topik APBD Kalsel 2025 : Prioritas Pembangunan vs Bunga Deposito tersebut secara substansi pernah Firman Yusi sampaikan pada rapat kerja Pimmnpinan DPRD, Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) bersama Perangkat Daerah terkait beberapa waktu lalu.
Laporan mengenai penempatan dana APBD Kalsel 2025 dalam jumlah besar dideposito di bank menimbulkan perdebatan publik dan legislatif.
Sementara Pemprov mengklaim keuntungan dari bunga deposito yang mencapai puluhan miliaran rupiah per bulan, kritikan tajam muncul menyoroti efektivitas dan prioritas penggunaan dana publik tersebut untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu hingga 10 November 2025, data menunjukkan bahwa rata-rata serapan anggaran oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Kalsel masih berada di kisaran 51 persen. Angka tersebut jauh dari target yang seharusnya dicapai menjelang akhir tahun anggaran.
Kondisi serapan yang rendah menimbulkan kecurigaan berkorelasi dengan tingginya dana yang mengendap di kas daerah, yang kemudian ditempatkan sebagian besar dalam bentuk deposito. Alih-alih mengalir cepat ke proyek-proyek pembangunan, program pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial, dana tersebut justru "diparkir" di bank.
Serapan anggaran yang rendah menimbulkan beberapa dampak, antara lain ; Penyaluran Manfaat Tertunda: Program yang seharusnya langsung dirasakan masyarakat, seperti subsidi atau bantuan, baru terealisasi di penghujung tahun, atau bahkan ada kemungkinan gagal terlaksana,
Proyek-proyek infrastruktur, pengadaan barang/jasa, dan program strategis mengalami penundaan dan terjadi penumpukan realisasi anggaran di bulan-bulan terakhir (Desember), yang berisiko pada kualitas pekerjaan dan menyulitkan pengawasan.
Sedangkan Pemprov Kalsel menjelaskan, bahwa penempatan dana di deposito dan giro merupakan bagian dari manajemen kas daerah. Disebutkan bahwa penempatan dana di deposito (yang totalnya mencapai sekitar Rp 3,9 triliun dari total kas daerah Rp 4,7 triliun) menghasilkan bunga sekitar Rp 21 miliar per bulan.
Deposito dianggap sebagai tempat yang aman dan likuid (bersifat cadangan) untuk dana kas daerah yang belum terpakai, dan diklaim sesuai ketentuan. Bunga deposito menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru yang signifikan, yang kemudian dapat dialokasikan kembali dalam APBD tahun berikutnya (sebagai potensi penambahan APBD 2026).
"Meskipun pendapatan bunga deposito adalah fakta, menempatkan APBD dalam jumlah besar di deposito menggeser prioritas penggunaan dana. Filosofi APBD adalah sebagai stimulus ekonomi dan alat pembangunan, bukan semata-mata instrumen investasi," ujar Firman Yusi.
Risiko terbesar, lanjutnya, anggapan bahwa pendapatan bunga tersebut lebih diutamakan daripada menjalankan program pemerintah. Bunga yang didapat sebesar Rp21 miliar per bulan tidak akan pernah sebanding dengan manfaat ekonomi dan sosial yang hilang akibat penundaan penyerapan anggaran untuk proyek senilai triliunan rupiah.
"Dana yang didiamkan di bank adalah peluang pembangunan yang hilang.Polemik ini harus menjadi momentum bagi Pemprov Kalsel untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap kelola anggaran. Prioritas utama harus dikembalikan pada realisasi program pemerintah dan percepatan belanja modal," ujar Firman Yusi.
Begitu juga bunga deposito seharusnya hanya menjadi "bonus" dari dana yang memang belum saatnya dicairkan, bukan tujuan utama manajemen kas. Pimpinan OPD harus didorong dan bahkan diancam sanksi jika tidak mampu menyerap anggaran secara optimal.
Menurut dia, rendahnya serapan anggaran OPD menunjukkan kelemahan dalam perencanaan dan eksekusi kegiatan. Program dan kegiatan, terutama proyek besar, harus dimulai di awal tahun anggaran (Januari-Maret). Proses tender, pengadaan, dan kelengkapan administrasi (seperti dari pemohon hibah/bantuan) harus selesai di awal tahun agar tidak menumpuk dan menyebabkan keterlambatan pencairan hingga November.
Pimpinan daerah dan legislatif harus rutin melakukan evaluasi serapan setiap triwulan, bukan menunggu hingga akhir tahun, untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan teknis maupun administrasi secara cepat.
Baca juga: Pansus IV DPRD Kalsel studi kebijakan kesehatan ke Jatim
Dengan perencanaan yang ketat dan time schedule yang jelas, dana APBD dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk masyarakat Kalsel, dan potensi dana mengendap berupa Sisa Lebih Perhitungan Anggarn (SILPA) dapat diminimalisir.
"APBD adalah nadi pembangunan daerah, dan kegagalan merealisasikannya tepat waktu sama dengan menahan laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat," demikian Firman Yusi.
