Amuntai, Kalsel (ANTARA) - Ujung sebelah utara Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) tampak sejauh mata memandang hamparan lahan rawa membentang dihiasi ratusan bahkan ribuan meter saluran air membelah areal yang dijadikan persawahan dan permukiman.
Adalah Polder Alabio, sebuah bangunan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda di Kabupaten Hulu Sungai Utara HSU).
Baca juga: Pemkab HSU gelar aksi bersih-bersih saluran air
Bangunan tersebut bukan sekedar sistem irigasi pertanian atau yang lainnya, tetapi lebih dari itu, keberadaan Polder Alabio itu menjadi denyut kehidupan warga sekitar yang telah menyatu sejak masa Hindia Belanda pada 1933.
Warisan teknik pengairan yang awalnya dirancang untuk menaklukkan rawa, mengubahnya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, khususnya petani di daerah tersebut.
Polder Alabio memiliki lima pompa air yang dikelola rumah pompa di Desa Teluk Betung, Sungai Pandan, Hulu Sungai Utara.
Polder Alabio bukan hanya nama yang sering muncul melalui warta nasional.
Namun bagi warga Hulu Sungai Utara (HSU), infrastruktur itu menjadi penyangga kehidupan, denyut nadi pertanian, pengendali air saat melimpah, dan pelindung dari banjir.
Pada masa jayanya, Polder Alabio memiliki luas mencapai 6.000 hektare dan terbentang luas, mengendalikan hempasan air Sungai Barito dan memperkuat sistem pertanian rawa pasang surut.
Jaringan kanal, pintu air, dan tanggul menjaga lahan pertanian dan pemukiman tetap kering dan subur.
Namun, ketika warga Desa Sungai Pandan Hulu mulai berkumpul di sekitar saluran air tua yang membelah pemukiman mereka.
Baca juga: Wabup HSU tinjau Polder Alabio bersama BWS Kalimantan III