Banjarmasin (Antaranews Kalsel) - Ketua Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) Amalia Rezeki menyambut positif dan mengapresiasi inisiatif Gubernur Kalimantan Selatan Sabirin Noor yang berniat membentuk Tim Konservasi Orangutan dan Bekantan Kalsel.
Hal tersebut guna menanggapi temuan habitat serta populasi orangutan di Kawasan Hulu Sungai Utara oleh Tim Observasi Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati ( Biodiversitas Indonesia ) – Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 2014 lalu, katanya di Banjarmasin, Selasa.
Menurut Amalia Rezeki sebelumnya secara ilmiah Kalimantan Selatan disebutkan tidak terdapat persebaran habitat dan populasi orangutan, serta kondisi terakhir tentang keberadaan bekantan yang habitat dan populasinya mengalami penurunan sangat drastis akibat, alih fungsi lahan, pembangunan pemukiman, kebakaran hutan dan perburuan liar.
Sesuai arahan Gubernur Sabirin Noor, tim ini nantinya akan melakukan tugas melaksanakan dan mengumpulkan data-data tentang Orangutan dan Bekantan di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kemudian melakukan studi populasi, distribusi, dan membuat Mapping Habitat Orangutan dan Bekantan yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan untuk dapat ditindaklanjuti oleh instansi terkait, perguruan tinggi, dan pemerhati Orangutan dan Bekantan.
Selain itu melakukan analisis sosial dampak dan keterancaman Orangutan dan Bekantan serta konflik dengan manusia, disamping menyusun rencana aksi dan memberikan rekomendasi untuk kegiatan konservasi Orangutan dan Bekantan dan melakukan koordinasi dengan semua pihak dalam upaya pelestarian Orangutan dan Bekantan.
Niat baik dari pemerintah daerah ini adalah merupakan tonggak sejarah, bagi dunia konservasi di Kalsel dalam upaya pelestarian orangutan dan bekantan.
Khususnya bekantan yang nyaris 26 tahun sejak ditetapkannya sebagai ikon kebanggaan Provinsi Kalimantan Selatan 28 Maret 1990 lalu, baru sekarang semua pemangku kepentingan bersatu dan berupaya menyelamatkan primata endemik Kalimantan yang terancam keberadaannya di dunia ini, “ tutur Amalia Rezeki yang juga dikenal sebagai dosen Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat.
Sementara itu menurut Amalia Rezeki, SBI selama tahun 2015 hingga 2016, sudah sekitar 29 kali melakukan evakuasi bekantan."Sementara yang sudah dilepasliarkan berjumlah 16 ekor, yang sedang dirawat 10 ekor, serta tiga ekor tidak dapat tertolong akibat luka bakar yang cukup serius," jelas Ketua SBI Amalia Rezeki.
Seperti diketahui, bekantan dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No 134 dan No 266 jo, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan lembaga konservasi Internasional, bekantan termasuk dalam daftar merah IUCN yang dikategorikan endangered (terancam punah), kemudian tergolong appendix I oleh Lembaga Konvensi Internasional CITES dimana bekantan dilarang diperdagangkan.
Kelestariannya semakin terancam oleh makin maraknya alih fungsi lahan yang menjadikan habitatnya semakin menyempit. Saat ini hampir tiap hari SBI melalui Tim Rescue-nya menerima banyak laporan dari warga tentang keberadaan bekantan di areal pemukiman dan perkebunan warga. Tak jarang terjadi konflik antara bekantan dengan warga, karena sebagian dari warga menganggapnya sebagai hama,
Walaupun sebenarnya, manusialah yang telah merebut habitatnya, sehingga mereka “terpaksa†mencari makan di areal pemukiman dan perkebunan warga tersebut. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perburuan liar serta perdagangan ilegal. Hal itu menyebabkan populasi monyet berhidung panjang tersebut semakin berkurang, tambah Amalia Rezeki yang pernah menerima penghargaan Perempuan Inspiratif Indonesia sebagai Dosen Penyelamat Bekantan di ajang She Can Awards 2015 ini.
Menurut Amalia Rezeki berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1987 jumlah populasi bekantan di Pulau Kalimantan masih cukup banyak mencapai 250.000 ekor dan 25.000 ekor berada di kawasan konservasi (MacKinnon,1978). Kemudian menyusut drastis pada tahun 1995, hanya berjumlah sekitar 114.000 ekor dan hanya tersisa 7.500 ekor di kawasan konservasi (Bismark,1995).
Sehingga dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir populasi bekantan di Pulau Kalimantan berkurang sekitar 50 persen. Sedangkan di Kalimantan Selatan melalui penelitian yang dilaksanakan tahun 2013 oleh BKSDA Kalsel hanya berjumlah sekitar 3.600 sampai lima ribu ekor, namun sekarang diperkirakan sudah tidak sampai 2500 ekor lagi.
Dengan maraknya alih fungsi lahan, perburuan dan perdagangan satwa liar serta bencana kebakaran hutan, diperkirakan terjadi penurunan populasi yang sangat drastis. Bahkan saat ini mungkin boleh dikatakan darurat bekantan‘’, tutur Ir. H. Akhmad Ridhani, MP – KSDAE Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan yang saat itu (10-02-2017) memimpin rapat pembentukan Tim Konservasi Orangutan dan Bekantan.