Tabalong, (Antaranews Kalsel) - Pompa angguk penyedot minyak terlihat bergerak turun naik oleh mesin penggeraknya. Alat pemompa ini beroperasi di salah satu sumur minyak dan gas milik PT Pertamina EP Aset 5 Lapangan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, Rabu, (7/12) siang.
Sekitar 50 meter dari pompa angguk bekerja tampak satu eksavator yang mengeruk tanah mencari batubara. Ia berhasil menggali sedalam sekitar puluhan meter dari permukaan tanah tak jauh dari pompa angguk berada.
Diantara keduanya hasil kerukan batubara si eksavator ditumpuk setinggi tiga meter. Jika aktifitas keduanya bertemu antara pompa angguk dan eksavator, jelas merugikan kegiatan pengeboran minyak dan gas.
Salah satunya jika penggalian emas hitam terlalu dalam akan menyebabkan longsor dan merusak keberadaan pompa angguk. Padahal usia pompa angguk lebih dulu berada di sana dibanding aktifitas penambangan batubara.
Apalagi pergerakan eksavator menambang mulai mendekati dan menjadi satu lokasi dengan aktifitas pengeboran minyak .Dampaknya bisa merusak sarana dan prasarana milik pertamina lainnya, tak sekadar pompa angguk tapi juga pipa distribusi kepenampungan migas.
Di sisi lain, ada sumur migas yang pernah mengalami kondisi yang sama namun sudah ditinggalkan penambang batubara.Akibatnya, kerusakan lingkungan pun terjadi.
Terdapat galian bekas tambang yang tidak bisa difungsikan lagi membentuk danau dengan air yang diduga tercemar karena sisa batubara yang dibiarkan.
Itu adalah pemandangan yang disaksikan puluhan wartawan dari lima kabupaten (Termasuk Tabalong) di Kalimantan dan Papua saat kunjungan ke Lapangan Sangasanga bersama PT Pertamina EP Aset 5 dalam Workshop Jurnalistik dan Edukasi Media.
"Nah ini salah satu lokasi sumur minyak yang tumpang tindih dengan pertambangan," ungkap Dika Agus Sarjono, Asisten Manager Hukum dan Hubungan Kemasyarakatan di PT Pertamina EP Aset 5 Lapangan Sangasanga.
Dulunya di lokasi yang menjadi danau merupakan sumur migas dengan nama Louise 1074 terdapat enam buah rumah milik Pertamina karena penyerobotan lahan akhirnya tergusur.
Dika mengaku tak kuasa menghentikan atau menutup kegiatan tambang batu bara di sana meski berada di lahan pertamina. Pasalnya aktifitas penggalian batu bara di sana sudah dapat restu pemerintah daerah menyusul terbitnya Ijin Usaha Pertambangan.
"Petamina jadi tidak bisa leluasa bekerja di lahan sendiri karena ulah penambangan batu bara," ungkap Dika.
Ya, seperti itulah kondisi ladang minyak sekarang. Padahal sebagai wilayah kerja migas seharusnya tidak boleh dimasuki kegiatan nonmigas seperti pertambangan.
Tak heran jika akhirnya ladang minyak yang seharusnya untuk kegiatan pengeboran malah diwarnai tumpukan emas hitam yang menggunung dan berjejer di beberapa lokasi sumur migas.
Dika yang berpostur tinggi besar ini pun mengaku hanya bisa pasrah dan angkat tangan menyaksikan maraknya penambangan emas hitam di sana.
Jalur Hukum
Mengatasi tumpang tindih tersebut, PT Pertamina telah berupaya menempuh jalur hukum untuk menertibkan tumpang tindih lahan di lapangan Sangasangan termasuk perambahan lahan oleh salah satu perusahaan penambang, tak membuahkan hasil.
"Lapor ke polisi sudah bahkan sampai ke Mabes Polri, tapi tidak ada eksen apapun," ungkap Dika.
Wajar jika kekecewaan dirasakan Dika maupun jajaran PT Pertamina Aset 5 lainnya, dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara yang mengeluarkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP} batubara di salah satu obyek vital nasional ini.
Selain dipicu mudahnya mendapatkan ijin usaha pertambangan menjamurnya kegiatan eksploitasi batubara di Kecamatan Sangasanga juga didukung sarana angkutan sungai yang dekat pelabuhan.
Para pemegang IUP pun akhirnya melenggang dengan mudah di sana untuk mengeruk isi perut bumi Lapangan Sangasanga tanpa memperdulikan adanya sumur migas yang menjadi sumber devisa negara.
Padahal jika merujuk ke catatan geolog Belanda cadangan minyak di Lapangan Sangasanga ini mencapai 361 juta barel dan pihak pertamina sendiri mengklaim ada sekitar 1.500 sumur migas dari peninggalan Belanda.
Apalagi pertamina memiliki 200 sampai 300 sumur migas di lahan yang toverlap dengan tambang. Sumur - sumur migas itu berusia lebih 30 tahun.
Pejabat sementara Field Manager, Desprendi Akbar mengatakan hal itu adalah dilema. "Maunya kegiatan migas tak terganggu dengan kegiatan non migas," ungkapnya.
Menurut Desprendi wilayah kerja migas yang sudah berubah menjadi danau maupun lubang besar menjadi kendala pertamina melakukan eksploitasi minyak maupun migas.
Desprendi menjelaskan ancaman keamanan dan kerusakan fasilitas pertamina lainnya oleh angkutan batu bara karena melintasi jalur pipa migas.
Solusinya, kini antara pertamina dan perusahaan pertambangan membuat Perjanjian Pemanfaatan lahan bersama dengan menerapkan sistem zonasi.
Ada tiga zona yang disepakati yakni merah, hijau dan kuning di mana untuk zona merah terlarang bagi aktifitas penambangan.
Sesuai data pertamina, luas wilayah kerja migas di Lapangan Sangasanga mencapai 13.000 hektare mencakup bagian Selatan Mahakam 5.325, hektare, Utara Mahakam 6.181 hektare dan Samboja 1.840 hektare.
Pertamina mulai kelola lapangan tua Sangasanga yang merupakan peningalan Belanda sejak Oktober 2008, tercatat 1.087 sumur migas yang telah di bor namun hanya 85 sumur yang optimal.
Kasus tumpang tindih lahan antara pertamina dan pertambangan juga terjadi di daerah lain salah satunya Lapangan Tanjung di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Namun bisa teratasi setelah perusahanan pertambangan batubara bersedia membayar kompensi kepada PT Pertamina EP Aset 5 Lapangan Tanjung. Kompensasi berupa pembuatan sumur migas baru di lokasi yang berbeda dan aman dari aktifitas tambang.
"Ada delapan sumur baru yang minta kompensasi ke perusahaan tambang batubara," jelas humas PT Pertamina EP Aset 5 Lapangan Tanjung, Ruspandi.