Jakarta (ANTARA) - Setiap bulan Oktober, secara tradisi ilmiah selalu diperingati sebagai bulan bahasa dan sastra dengan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran berbahasa dan cinta Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menjadi pengikat bagi setiap warga negara yang belajar Bahasa Indonesia sejak kelas 1 SD sampai perguruan tinggi.
Para pelajar ini, bahkan tidak dapat naik kelas jika Bahasa Indonesia mendapat nilai 5. Banyak orang tua yang terperangah ketika tahu anaknya sebagai anak Indonesia, tapi tidak naik kelas karena Bahasa Indonesia.
Di media massa, Bahasa Indonesia juga masih menjadi isu penting karena buruknya bahasa jurnalistik di sejumlah media, yang ditunjukkan dengan masih tingginya pengaduan ke Dewan Pers terhadap kualitas jurnalistik, termasuk bahasa media.
Redaktur bahasa
Seorang redaktur senior di Jakarta mengungkapkan betapa ia masih harus mengedit total tulisan reporter yang dianggapnya masih "keriting", meski sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Mata uji UKW hanya menyangkut masalah teknis keseharian tugas jurnalistik di lapangan atau di ruang redaksi.
Di sisi lain, skor Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) selama enam tahun terakhir sampai 2023 di bawah 80, yang menunjukkan kualitas pers Indonesia masih masuk kategori sedang.
Sebanyak 20 indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pers, tidak satu pun butir kuesioner yang menyentuh ranah bahasa pers.
Begitu juga Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang disusun Dewan Pers tahun 2010 dan 2018 dalam bentuk piramida juga belum menempatkan kesadaran berbahasa sebagai prasyarat dalam profesi jurnalis.
Gambaran penilaian kualitas pers sekarang ini pada dasarnya bukan peristiwa baru.
Penelitian Nugroho, Siregar, Laksmi (2012) mengungkapkan pertumbuhan industri media yang menjamur ternyata tidak berhubungan dengan konten, bahasa atau kedalaman informasi, sehingga penampilan media menjadi buruk dan semakin kehilangan karakter publiknya.
Sebagian besar program berita harian dan portal berita menyajikan peristiwa dan berita yang sama.
Beberapa dosen di Jakarta yang menjadi pengampu mata kuliah teknik mencari dan menulis berita, mengaku justru tidak berminat membaca berita atau menonton berita karena berita selalu diulang-ulang.
Ia merasa tidak ada kemajuan dalam cara pemberitaan di media. Bagaimana dia dapat menyiapkan mahasiswanya yang bercita-cita menjadi wartawan berkualitas, kalau contoh berita di media masih buruk.
Seorang personel hubungan masyarakat (humas) kedutaan asing di Jakarta mengemukakan rasa herannya ketika melihat rilis yang disebarkan ke media sama sekali tidak ada pengayaan, titik koma persis sesuai rilis, bahkan tidak menyebutkan sumber.
Begitu juga, sekelompok wartawan senior di Jakarta belum lama ini menyatakan kekecewaannya terhadap penampilan liputan yang seragam karena berita hanya fotokopi.
Inilah fenomena "pack journalism", di mana para wartawan menyajikan liputan yang sama dan berulang kali sama.
Tentu saja ada konsekuensi etis dari praktik "pack journalism" dan di sisi lain, bahkan merugikan masyarakat.
Pelanggaran itu, antara lain karena kemalasan wartawan dan hanya mengandalkan satu sumber, tidak mandiri, kehilangan kredibilitas berita, terikat dengan pertemanan untuk saling berbagi berita secara informal.
Akibatnya, liputan berita menjadi kurang kreatif, nilai berita menjadi terabaikan karena hanya mengandalkan informasi teman dan fotokopi rilis humas.
Praktik "pack journalism" ini tidak hanya terjadi pada reporter, tapi juga didukung perusahaan media itu sendiri, bahkan terjadi jual beli berita atau "news trading".
Menurut Lazuardi (2023), dalam hasil penelitian disertasi di UI, jual beli berita yang dilakukan perusahaan media adalah bentuk kejahatan karena melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh media yang merugikan masyarakat.
Konten yang diproduksi cenderung mengabaikan norma media dan mengorbankan hak publik atas informasi yang benar.
Kondisi ini karena ada campur tangan berbagai kepentingan dalam redaksi, serta terjadinya penyimpangan fungsi media.
Sebelumnya, Utomo (2020) dari UGM menunjukkan contoh bagaimana penampilan berita-berita di masa krisis wabah Covid-19 dengan dramatisasi berlebihan, sehingga membuat masyarakat justru menjadi bebal. Akibatnya banyak yang kemudian bersikap acuh tak acuh.
Temuan kedua ilmuwan tesebut menguatkan hasil penelitian seorang wartawan Amerika Paul Johnson (1992) yang sejak lama menyinyalir tujuh dosa jurnalis melalui bahasa, yakni distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, penyalahgunaan kekuasaan, meracuni beban pikiran anak.
Pengaruh bahasa di media dapat dilihat pada berbagai peristiwa yang terus terjadi sampai sekarang, seperti kekerasan terhadap perempuan, ayah memperkosa anak kandung, tawuran sadis remaja sekolah, yang diliput media dengan cara dan gaya bahasa pemberitaan yang sama.
Apakah berita-berita di media yang menyebabkan kasus itu sering terjadi?
Secara langsung, benturan di media antara kepentingan bisnis dan idealisme telah melahirkan suatu liputan yang dapat merugikan orang lain.
Dengan demikian, bahasa di media menjadi penting.
Apalagi, masyarakat sangat percaya pada media karena profesionalisme media, meski UKW yang dicanangkan 2010 ternyata belum menjamin kualitas wartawan.
Sementara itu, kepatuhan wartawan terhadap kode etik jurnalistik juga masih rendah, yakni peringkat ke 15 di antara 20 indikator IKP.
Kesantunan berbahasa
Hampir semua perusahaan media memiliki "style book" atau buku pegangan untuk kalangan wartawannya sendiri, yang isinya, antara lain teknis menulis berita atau features.
Selain itu, ada Forum Bahasa Media Massa (FBMM) yang didirikan 2002 oleh sekelompok wartawan yang peduli dengan semrawutnya bahasa di media, terutama media daring di daerah.
Menurut Rita Sri Hastuti, salah satu pengurus FBMM, wartawan kurang peduli dengan aspek kebahasaan karena menganggapnya tidak penting.
Itu sebabnya, sampai sekarang konsep kesantunan berbahasa di media belum menjadi perhatian para jurnalis.
Pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi yang akhirnya menjelma menjadi "kejahatan, masyarakat jadi bebal, dosa wartawan" yang tentu saja merugikan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memahami kesantunan berbahasa, seperti mengucapkan terima kasih, memberi salam atau tatakrama dalam percakapan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kesantunan berbahasa menjadi salah satu teori pragmatik, yang menghubungkan perilaku bahasa dengan realitas sosial.
Di sini lah peran kesantunan berbahasa di media dengan fungsi sosialnya menyampaikan realitas sosial menjadi realitas media yang bermanfaat bagi publik.
Ada beberapa teori kesantunan berbahasa. Salah satu bentuk kesantunan berbahasa adalah Prinsip Kerjasama (Cooperatives Principle, Paul Grice, 1992) yang dapat diterapkan dalam kegiatan jurnalistik, sebagai pengganti 5W dan 1H.
Ada empat prinsip di dalamnya, yakni kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara atau manner.
Prinsip kualitas, yakni sumber berita harus berkualitas dan dapat dipercaya, sehingga informasi yang disampaikan mempunyai nilai tinggi, bukan fotokopi.
Misal, kasus seorang ayah yang memperkosa anak kandung tentu tidak cukup hanya mengandalkan sumber polisi saja, perlu juga dari tetangga, ketua RT, ibu korban, psikolog atau pemuka agama.
Kuantitas adalah jumlah informasi harus cukup, jangan berlebihan dan jangan kurang. Rilis berita dari humas, misalnya, perlu dilengkapi dengan informasi lainnya, seperti tanggapan masyarakat.
Relevansi, artinya perlu pengayaan dengan data dukungan yang terkait, seperti gambar atau statistik yang ada hubungannya dengan berita.
Sedangkan prinsip cara atau manner adalah penyampaian informasi dengan pilihan kata dan kalimat yang tidak menyakiti orang lain. Misal, berita mengenai kasus kekerasan jangan sampai justru merugikan perempuan korban.
Kesantunan berbahasa, terutama di era media online sekarang ini, menjadi kebutuhan penting, agar bahasa yang digunakan dalam penyampaian informasi dapat membuat masyarakat menjadi lebih beradab.
*) Dr. Artini adalah mantan Kepala Lembaga Pendidikan Jurnalistik Kantor Berita Antara (LPJA), wartawan utama, dan peneliti media.