Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Sekelompok anak muda menyalakan obor terbuat dari minyak tanah sambil bercanda ria di tengah suasana kampung yang terang benderang sambil menggelorakan budaya Badadamaran di malam bulan Ramadhan.
Sesekali mereka bersuara agak kencang dengan kata-kata "kalah kampung di hulu, kalah kampung di hilir, menang kampung tengah," seakan menandakan bahwa kelompok anak muda yang berada di kampung (desa) tengah tersebut memenangi gerakan menyalakan lampu malam Ramadhan tersebut.
Kebiasaan menyalakan lampu obor, atau penerangan apa saja di saat malam-malam Ramadhan yang disebut budaya Badadaran merupakan budaya yang sudah turun temurun di dalam masyarakat Suku Banjar yang mendiami kawasan Kalimantan Selatan (Kalsel) khususnya lagi di kawasan Banua Enam (enam kabupaten Utara Kalsel).
Tak ada yang tahu persis mengapa budaya tersebut sudah ada sejak turun temurun di dalam masyarakat yang tinggal di pulau terbesar Indonesia tersebut, namun perkiraan hal itu muncul setelah para ulama tempo dulu menganjurkan umat Islam supaya menyemarakkan datangnya Ramadhan dengan memberikan penerangan di muka rumah masing-masing.
Tujuannya agar umat Islam yang ingin bepergian ke masjid, ke surau untuk melaksanakan shalat tarawih berjemaah akan mudah, atau melakukan ibadah lainnya.
Menurut berbagai cerita tetuha masyarakat di bilangan Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Baangan, atau sekitar 210 Km Utara Banjarmasin berbagai cara dilakukan masyarakat untuk menyemarakan budaya memberikan penerangan di pekarangan rumah di malam-malam Ramadhan tersebut.
"Waktu dulu karena tak ada alat yang mudah untuk menyalakan lampu penerangan di depan rumah, maka penduduk di wilayah Banua Enam (dulu masih Banua Lima) karena masih belum ada pemekaran kabupaten di Kalsel ini, memanfaatkan gatah kayu damar untuk disulut menjadi obor, sebagai alat penerangan," kata Hairudin penduduk Desa Panggung.
Akibat kebiasaan menyulut getah kayu damar yang dinamakan damar tersebut maka budaya penerangan tersebut disebut Badadamaran, tambahnya.
Seiring perkembangan zaman di saat getah kayu damar sulit diperoleh maka selanjutnya warga setempat menggantikan damar dengan karet lembaran kering yang setelah disulut dengan api lalu menyala menjadi obor.
Agar memudahkan menyalakan karet tersebut maka dibuatkan wadah yang terbuat dari batang pisang, pelepah daun rumbia, atau menggunakan bambu.
Tempat membakar karet tersebut pun di bentuk-bentuk ada yang menyerupai kapal terbang, menyerupai binatang, menyerupai rumah-rumahan dan sebagainya, sehingga ketika deretan karet yang dinyatakan di tempat itu maka terlihat indah.
"Biasanya antar kelompok pemuda di kampung berbeda seakan berlomba membuat lokasi Badadaran seindah mungkin, agar dikatakan berjaya dalam arena Badadamaran tersebut," kata Wahyudin.
Pada perkembangan berikutnya, bukan saja karet yang dibakar tetapi sudah lebih modern dengan menempatkan lilin di tempat-tempat yang dibuat untuk budaya Badadamaran tersebut, bahkan deretan lampu templok menggunakan minyak tanah.
Lalu setelah zaman terus berkembang pada tahap berikutnya, budaya Badadamaran khususnya di kampung-kampung tertentu sudah pula memanfaatkan lampu lampion atau lampu berhias yang disebut tanglong.
Bahkan perkembangan terakhir setelah listrik masuk desa ke seluruh wilayah Kalsel memasang lampu penerangan di depan rumah dengan bahan seadanya yang semakin berkurang, bahkan di ganti bola-bola listrik kecil warna warni menghiasi depan rumah dan pinggir jalan desa-desa tersebut.
Akhirnya memasuki era tahun 2000-an ini, budaya Badadamaran nyaris menghilang karena banyak warga menggantikannya dengan lampu listrik kecil kerlap-kerlib.
Ketika penulis melakukan perjalan dari Banjarmasin ke wilayah Banua Enam beberapa hari lalu tak melihat tradisi khas saat Ramadhan seperti "badadamaran" menyulut lampu minyak tanah atau obor karet di tepi jalan atau di muka rumah.
Beberapa penduduk Banua Enam menuturkan budaya Badadamaran tersebut, mulai menghilang sejak berhasilnya program pemerintah menggalakkan listrik masuk desa yang hampir mencapai seluruh wilayah Kalsel.
"Perkiraan budaya Badadamaran ini sudah mulai hilang sekitar satu dasawarsa lalu. Tadinya walau listrik sudah menyala di desa namun ada saja warga yang melakukan budaya tersebut, tetapi belakangan ini benar-benar sudah hilang," kata seorang penduduk.
Selagi budaya tersebut masih marak, kedatangan bulan Ramadhan begitu terasa, sebab sepanjang desa yang tadinya gelap gulita tak ada penerangan menjadi suasana terang benderang. Setiap buah rumah menyalakan lampu-lampu di tepi jalan atau depan rumah dengan jumlah beberapa buah.