Amuntai (ANTARA) - Kejaksaan mengubah stigma negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum dengan menyediakan rumah bagi kegiatan dialog dan musyawarah untuk penyelesaian kasus pidana umum.
"Mungkin bapak/ibu sering mendengar, ada kasus pencurian pelapah kelapa, pencurian sendal atau pencurian satu, dua batang kayu sampai bergulir ke persidangan." ujar Kajati Kalsel Mukri di Amuntai, Rabu.
Mukri mengatakan, pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa kini bisa dilakukan melalui rumah restorasi justice (RJ).
Sebanyak 10 buah rumah RJ ini, katanya disediakan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan yang peresmiannya oleh Kajati Kalsel dipusatkan di Aula KH Idham Khalid Amuntai, Rabu (3/11/22).
"Hal ini sesuai Peraturan Jaksa Agung RI nomor 15 Tahun 2020 terkait penyelesaian perkara di luar persidangan yaitu restorative justice," terangnya
Mukri mengatakan, aparat penegak hukum akan membuat putusan seringan-ringannya terkait perkara-perkara yang memang secara substansi sudah diselesaikan kedua belah pihak.
Asalkan, kata Mukri, kasusnya dibawah ancaman lima tahun penjara, kerugian materil yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000, adanya perdamaian kedua belah pihak melibatkan keluarga, tokoh masyarakat dan penyidik.
"Ketika syarat-syarat itu terpenuhi, maka penuntut umum selaku pemegang hak penuntutan sudah dapat mengambil keputusan untuk perkara ini apakah layak atau tidak dilimpahkan ke pengadilan," tandas Mukri.
Ia mengharapkan dengan adanya rumah restorative justice ini dapat mewujudkan ketentraman dan kedamaian bagi masyarakat.
Asisten Setda HSU Amberani saat menghadiri peluncuran 10 rumah RJ mewakili Plh Bupati HSU sangat mendukung kepedulian pihak kejaksaan menyediakan rumah RJ bagi masyarakat.
"Kehadiran rumah RJ ini diharapkan mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai di masyarakat nantinya," katanya.