Jayapura (ANTARA) - Tangan terampil para mama- mama dari Bumi Cendrawasih berkutat dengan canting, mereka berupaya menciptakan kain cantik dengan motif khas Tanah Papua yang jadi alternatif buruan buah tangan bagi para pendatang.
Dengan tekun namun tetap lincah, mereka menciptakan garis demi garis yang melekuk seolah menjadi maestro di atas kain itu, mereka pun menghasilkan keindahan di atas kain yang dikenal sebagai batik Port Numbay.
Batik Port Numbay merupakan upaya inisiasi putra asli Papua yaitu Jimmy Afaar, batik itu kini menjadi ikon dari kota Jayapura yang menjadi salah satu klaster pelaksanaannya ajang olahraga terbesar di Indonesia yaitu PON XX Papua.
Baca juga: Kemarin, pengguna KRL anjlok hingga omzet penjualan batik merosot
Merupakan batik tulis dengan motif- motif khusus yang berasal dari 250 suku di Papua, Batik Port Numbay pun laris dicari sebagai oleh- oleh berkualitas oleh para pelancong terkhusus para kontingen dan panitia yang berasal dari luar Indonesia timur.
Meski Jimmy turut sibuk berkutat menjadi ofisial untuk tim voli putri Papua di PON XX, persiapan memenuhi pesanan tetap dilakukan dengan lancar dengan bantuan teknologi.
Baca juga: Disparibud gandeng desainer internasional promosikan batik Pamekasan, Jatim
Di balik ketenarannya di mancanegara di masa kini, rupanya batik Port Numbay memiliki kisah yang menarik sebelum akhirnya menjadi cendera mata favorit dari Negeri Mutiara Hitam.
Jimmy yang kini sudah berusia lebih dari setengah abad itu bercerita awalnya ia ingin menciptakan lapangan pekerjaan bagi mama- mama di sekitar lingkungannya di distrik Abepura.
Keinginan itu timbul dimulai dari kesadarannya melihat banyak talenta mama- mama di lingkungannya yang pandai menghasilkan kerajinan tangan seperti merajut ataupun melukis, namun keahlian itu tidak digunakan secara maksimal untuk bisa mendukung ekonomi keluarganya.
“Kami ingin angkat bakat dan talenta mama- mama ini. Hingga kami akhirnya carikan mereka pekerjaan sesuai talenta mereka. Dengan begitu mereka bisa membantu penghidupan rumah tangga sehari- hari, tak cuma sesuap nasi, tapi juga membiayai sekolah anak- anak mereka,” kata pria yang akrab disapa Opa ini.
Agar keinginannya dapat terwujud, ia pergi ke tanah lain yaitu Tanah Jawa untuk memahami dan mendalami cara pengerjaan batik sang warisan budaya yang diakui oleh UNESCO itu.
Bukan waktu yang sebentar memang untuk Jimmy bisa menimba ilmu dan menguasai kepintaran membatik.
Namun setelah ia menjadi mahir mempraktekan teknik membatik mulai dari penggunaan canting hingga akhirnya mewarnai kain sesuai keinginan, Jimmy pun kembali ke kampung halamannya untuk mengembangkan ekonomi kreatif lewat talenta milik mama- mama Papua.
Bangkitkan ekonomi kreatif
Cita- cita mulia membangkitkan ekonomi kreatif dari tangan- tangan terampil para mama tak semudah membalik telapak tangan.
Ada banyak upaya yang dicoba oleh Jimmy hingga akhirnya menjaring dan menggaet hati para mama untuk mau terlibat dalam proses menciptakan batik Port Numbay pada 17 tahun silam.
Jimmy pun memutar otak, langkah pertama yang ia ambil adalah langsung mendekati sepupunya yang juga merupakan seorang mama untuk bisa mengajak beberapa kawan belajar membatik.
Beruntung sepupu Jimmy bisa mengajak kawannya dan akhirnya proses pembukaan lapangan kerja di distrik Abepura itu pelan namun pasti bisa dimulai.
“Awalnya kami mulai hanya ada sekitar 15 mama- mama yang ikut membatik, kini jumlahnya telah bertambah untuk pengrajin tetap sudah ada sebanyak 36. Untuk PON ini bahkan kami mencari pengrajin yang dibayar harian untuk menyukseskan PON,” kata pria yang berasal dari Kampung adat Tobati itu.
Mematangkan kemahiran mama- mama untuk membuat batik, Jimmy tak sungkan memboyong pelatih khusus dari Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberikan pelajaran mendalam bagi para pengrajinnya.
Pelatihan itu memakan waktu yang tidak sedikit, tapi tentu saat ini memiliki dampak yang sangat besar.
Setelah berhasil mengajarkan dan mengasah keterampilan membatik para mama, Jimmy menyiapkan beberapa motif yang menjadi simbol suku- suku dari Papua.
Dimulai dari motif Cendrawasih yang menjadi pengingat akan surga di ufuk timur Indonesia itu, para mama pun mulai berkreasi dengan keterampilan mereka.
Para mama diajarkan agar bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk membatik di sela- sela kegiatan harian mengurus rumah tangga dan keluarga.
Dari satu batik, lambat laun kain- kain batik itu terus menumpuk siap untuk di pasarkan.
Jimmy pun harus memikirkan langkah lebih lanjut untuk mulai menjajakan kain- kain itu sehingga bisa menjadi uang.
Ia pun memutuskan memulai penjajakan penjualan kain batik Port Numbay ke instansi- instansi pemerintah di Papua.
Mengandalkan koneksi pada teman- temannya yang kerja menjadi pegawai Pemerintah, ia pun memulai perjalanan bisnis ekonomi kreatif mama-mama Abepura.
“Saya door to door itu (untuk mulai menjual batik Port Numbay), saya telfon teman saya di kantor Gubernur. Saya datangi mereka, saya naik bus dari satu bus, turun ke bus lainnya. Dari angkot pindah ke satu angkot lainnya. Seperti itu hingga akhirnya mulai dikenal batik tulis ini,” kata Jimmy mengenang awal mula batik Port Numbay mengumpulkan ketenarannya.
Jerih payahnya itu terbayar karena ia bisa mendorong para wanita di Bumi Cendrawasih untuk berdaya, baginya hal itu untuk menggambarkan “dari mama, oleh mama, untuk mama”.
Batiknya pun dari kantor gubernur lambat laun dikenalkan kepada masyarakat sebagai salah satu buah tangan khas Papua terutama kepada para pelancong yang berasal dari luar pulau.
Lambat laun tak hanya pelancong lokal, tapi juga pelancong mancanegara mulai memburu dan melariskan usaha para mama- mama yang menciptakan batik Port Numbay.
Semakin berjayanya batik Port Numbay, para mama pun akhirnya menjadi lebih semangat untuk terus berkarya.
Mereka bahkan sudah menjadikan kemampuan membatiknya itu sebagai bagian yang tak terlepaskan dari kesehariannya.
“Mama- mama ini dengan tekun dan sabar terus membuat batik, mereka senang karena bisa menceritakan kekayaan, suku- suku adat, istiadat masyarakat di Papua lewat karya mereka,” kata Jimmy.
Kini batik Port Numbay yang dihasilkan oleh para mama untuk dua meter karyanya dijual seharga Rp600.000 per potong, Rp650.000 per porong untuk ukuran 2,5 meter, serta Rp700.000 untuk kain sepanjang 3 meter.
Pesan Damai dari Papua
Seiring dengan ketenarannya, lambat laun motif- motif dari Batik Port Numbay terus bertambah.
Awalnya fokus pada menciptakan motif yang umum dikenal masyarakat tentang Papua, perlahan merambah pada pengenalan simbol- simbol kegiatan masyarakat di setiap suku yang ada di Papua.
Mulai dari alat- alat yang digunakan untuk bertani di pegunungan, hasil laut dari suku- suku di pesisir, hingga simbol keberkahan yang dihormati masyarakat Papua yaitu noken dikenalkan sebagai bagian khas dari Batik Port Numbay.
Semuanya dimaksudkan agar masyarakat tidak hanya di Indonesia tapi juga mancanegara bisa mengenal Papua sebagai perwujudan yang sesungguhnya dari surga bumi.
Salah satu pesan damai dan semangat hidup yang disampaikan lewat batik Port Numbay juga turut tergambar dalam salah satu pakaian milik Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan istrinya Iriana.
Jimmy menuturkan pada 2015 ia pernah ditugasi untuk merancang dan membuatkan batik bagi pasangan Bapak dan Ibu Negara itu.
Ia memilih motif khusus bertema perahu dan dayung yang menjadi salah satu bagian dari suku adat yang ada di Kota Jayapura yaitu suku Tobati dan Enggros.
“Jika di Papua, saat Kepala Suku sudah memberi mandat agar perahu berjalan bersama dayung maka sekencang apapun ombak, badai, dan rintangan lainnya itu harus bisa sampai dengan selamat. Maju terus sampai selamat di tujuan,” kata pria yang berusia 57 tahun itu.
Doa dan harapannya lewat motif dayung dan perahu ala suku Enggros dan Tobati pun ternyata terbukti dan terwujud pada langkah Presiden Joko Widodo hingga kini memasuki periode kedua memimpin Indonesia.
Pesan damai serupa juga tergambar pada motif- motif lainnya yang dibubuhkan di Batik Port Numbay sehingga rasa cinta, toleransi, dan perdamaian di Bumi Cendrawasih bisa menggugah hati masyarakat dunia.
“Semua motif yang diangkat dalam batik Port Numbay mengandung unsur sosial budaya, tak sama sekali kami mengangkat unsur kekerasan atau diskriminasi. Karena kami ingin motif itu menjadi pemersatu yang bisa mengajak masyarakat bergandeng tangan membangun negeri, khususnya Indonesia,” tutup Jimmy.
Jimmy berharap dengan misi mulia memberdayakan talenta para mama dan juga membawa pesan damai dari Papua untuk dunia, Pemerintah Daerah bisa lebih serius mendukung usahanya.
Pembinaan UMKM lewat pelatihan dan pemberian stimulus- stimulus lain seperti akses pemasaran diharapkan bisa lebih optimal sehingga batik Port Numbay semakin mengharumkan nama bangsa terkhusus masyarakat dari Tanah Papua.
Batik tulis Port Numbay berdayakan kreativitas mama- mama Papua
Senin, 11 Oktober 2021 9:13 WIB