Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menilai wacana pemerintah untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk jasa pendidikan akan membuka komersialisasi bidang pendidikan.
“Ketika ada pajak yang dipungut pada sekolah, baik negeri maupun swasta, akan berdampak pada siswa, baik uang pangkal maupun SPP siswa. Tentunya akan berdampak pada pengeluaran orang tua, sehingga biaya sekolah semakin mahal,” ujar Satriwan di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan dengan wacana tersebut, sekolah swasta akan menaikkan SPP dan uang pangkal. Sementara masyarakat yang tidak mampu berpotensi tidak sekolah dan putus sekolah. Apalagi, dengan kondisi pandemi COVID-19 yang berdampak signifikan pada pendapatan orang tua.
“Jika UU itu disahkan, angka putus sekolah akan meningkat dan semakin banyak anak yang tidak bersekolah,” tambah dia.
Dia menjelaskan rancangan UU tersebut, tentunya akan berpotensi melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat dua dan empat, dimana pendidikan adalah hak warga negara dan pemerintah wajib membiayainya.
Satriwan menambahkan dengan alokasi anggaran pendidikan yang lebih dari Rp500 triliun, seharusnya sudah bisa memberikan pendidikan gratis pada warga negara, tanpa harus melakukan pemungutan pajak.
“Aneh rasanya, jika pemerintah memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada sekolah swasta dan negeri, kemudian melakukan pemungutan pajak. Tentunya ini agak paradoks,” paparnya.
Pihaknya masih berpedoman pada aturan sebelumnya, yang mana jasa pendidikan tidak dikenakan PPN. Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang tidak Dikenai PPN.
“Pendidikan formal (sekolah dan madrasah), informal, dan nonformal seharusnya tidak dikenakan PPN sebagaimana aturan di atas yang masih berlaku,” tuturnya.
P2G akan berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan seperti Komisi X DPR membahas mengenai wacana penerapan PPN untuk jasa pendidikan itu.