Jakarta (ANTARA) - Walt Disney Animation Studio membuka tahun 2021 melalui perilisan film animasi panjangnya bertajuk "Raya and the Last Dragon", sebuah kisah petualangan yang berfokus pada Raya (Kelly Marie Tran) -- seorang gadis pemberani yang mencari Sisu (Awkwafina) -- sang naga terakhir.
"Raya and the Last Dragon" membawa penonton pada perjalanan dalam dunia fantasi Kumandra, di mana sejak dulu manusia dan naga hidup berdampingan.
Namun, ketika kekuatan jahat bernama Druun mengancam negeri itu, para naga mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkan manusia.
Kini, 500 tahun kemudian, kejahatan yang sama telah kembali dan nasib mereka bergantung pada seseorang kesatria bernama Raya, untuk mencari sang naga legendaris yang dapat mempersatukan kembali tanah dan masyarakatnya yang terpisah.
Film dibuka dengan pengenalan mengenai sejarah Kumandra -- negara yang dulunya adalah sebuah kesatuan, tetapi karena kejahatan orang-orang, Druun dilepaskan dan mengubah siapa pun yang menghalangi jalan mereka menjadi patung.
Sang naga terakhir, Sisu, kemudian berhasil menyelamatkan umat manusia, tetapi itu tidak dapat menghentikan orang-orang yang selamat untuk terpecah menjadi lima suku dan/atau negeri, masing-masing diberi nama untuk bagian naga yang berbeda: Fang, Heart, Spine, Tail, dan Talon.
Meski topik yang diangkat tepat di awal film ini bisa dibilang cukup gelap bagi penonton anak-anak, namun, "Raya and the Last Dragon" berhasil membungkusnya dengan elemen-elemen khas Asia Tenggara yang penuh warna dan eksotis.
Seperti contohnya gaya animasi dan visual seperti wayang, hingga corak dan bentuk yang akrab dengan kehidupan sehari-hari penonton di wilayah ini, termasuk Indonesia.
Kisah kemudian berlanjut ke Raya kecil, yang terlahir di Negeri Heart, dan ditugaskan untuk melindungi sebuah Permata Naga Sisu yang kuat. Namun, rupanya Namaari (Gemma Chan), seorang gadis dari Negeri Fang, mencoba mencurinya dan menyebabkan batu itu pecah, dan masing-masing pecahannya dibawa oleh masing-masing negeri.
Seketika, Druun muncul kembali dan membuat kejadian 500 tahun silam itu terulang lagi -- di mana manusia diubah menjadi batu oleh makhluk tersebut.
Raya, yang semula mempercayai Namaari sebagai seorang teman, merasa dikhianati karena usahanya untuk mencuri Permata Naga tersebut. Pengkhianatan Namaari menjadi alasan besar Raya susah mempercayai orang lain.
Enam tahun setelah prolog panjang, penonton akhirnya mampu menyusul Raya dan sahabat karibnya yang mirip armadillo, Tuk Tuk, di ambang titik balik yang besar. Raya menjelajahi seluruh negara demi menemukan tempat peristirahatan Sisu.
Sang naga terakhir pun ditemukan, dan petualangan mereka untuk menemukan pecahan Permata Naga demi melawan Druun pun dimulai.
Seperti judulnya, berfokus pada dua lakon utama yaitu Raya dan sang naga Sisu, keduanya memiliki penokohan yang khas dan menarik. Sisu sang naga air digambarkan sebagai naga yang lucu, namun penuh harapan. Kehadiran Sisu menjadikan film memiliki dinamika yang menyegarkan sekaligus emosional.
Sementara, Raya merupakan seorang gadis yang pemberani dan taktikal. Kehadirannya seakan menjadi sebuah gelombang baru bagi citra heroine dan "Disney princess"-- ia kuat, mandiri, dan sama beraninya (atau bahkan lebih berani) daripada lakon pria muda yang sering mengisi peran seperti itu dalam film.
Di sisi lain, sang rival dari Raya, yaitu Namaari, adalah seorang pejuang yang memiliki presensi sama kuatnya seperti Raya. Motif dan hubungan keduanya menjadikan cerita kian intens ketika dua lakon wanita tersebut muncul.
Hal menarik lainnya dari film ini adalah bahwa tidak ada karakter laki-laki (yang memiliki porsi sama banyaknya dengan Raya, Sisu, dan Namaari). Hal ini kembali menjadikan Raya seorang Disney princess yang berbeda, karena pilihan itu membebaskannya dari sisi romantis yang biasanya identik dengan film Disney princess pada umumnya.
Di sepanjang perjalanannya, Raya belajar bahwa, untuk menyelamatkan dunia, hal yang dibutuhkan bukan hanya seekor naga, namun juga rasa saling percaya dan kerja sama.
Di sini, persahabatan yang dipertaruhkan, dan kerja sama yang berpotensi mengembalikan Kumandra ke kejayaannya sebelumnya.
Selain penokohannya yang kuat, "Raya and the Last Dragon" juga menawarkan visual cantik dengan babak dan adegan penuh aksi yang seru, menyenangkan, sekaligus mendebarkan.
Sejumlah senjata hingga aksi bela diri yang ditampilkan di layar lebar pun mengusung kekhasan dari Asia Tenggara -- region yang menjadi inspirasi Disney untuk film ini.
Keberagaman dari negara-negara Asia Tenggara di film ini juga terbilang tidak sedikit. Seperti arsitektur bangunan tradisional, kuliner, busana, hingga musiknya. Para kru film ini pun melakukan riset ke Indonesia, Laos, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Singapura demi bisa mencitrakan itu ke bentuk film dengan akurat.
Budaya Indonesia pun tak luput dari serba-serbinya. Misalnya saja topi caping yang dikenakan Raya, pedang meliuk seperti keris, musik gamelan, wayang, hingga tradisi membatik tulis menggunakan canting dan malam. Hal menimbulkan rasa akrab yang begitu lekat dan hangat, terutama bagi penonton Indonesia.
Sutradara Carlos López Estrada mengatakan, ia juga ingin mengusung nilai, kebiasaan dan adat istiadat yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Asia Tenggara. Rasa percaya akan satu sama lain dan gotong royong menjadi inti cerita dari film ini.
"Meskipun Kumandra adalah dunia fantasi yang fiktif, kami merancang Kumandra agar tetap dinamis dan menggambarkan kehidupan sehari-hari yang begitu dekat dengan masyarakat di Asia Tenggara," kata Estrada melalui keterangannya, baru-baru ini.
Selain Estrada, "Raya and the Last Dragon" juga disutradarai oleh Don Hall, bersama Paul Briggs dan John Ripa. Serta, diproduseri oleh Osnat Shurer dan Peter Del Vecho berdasarkan naskah skenario oleh Qui Nguyen dan Adele Lim.
Film ini awalnya dijadwalkan untuk dirilis pada tahun lalu, tetapi ditunda karena pandemi dan akhirnya tayang di bioskop Indonesia mulai 3 Maret 2021.
Jika Anda menyaksikannya di layar lebar, pastikan Anda hadir ke dalam teater tepat waktu, karena penonton akan disambut oleh kejutan manis berupa film pendek "Us Again" karya Zach Parrish.