Kalimantan Selatan tempo dahulu atau hingga 1960-an banyak terdapat tanaman ataupun pepohonan yang kini mulai langka, bahkan terancam punah.
Oleh karena itu, tidak mengherankan atau bukan hal mustahil kalau generasi kini urang Banjar Kalimantan Selatan (Kalsel) yang tersebar di 13 kabupaten/kota tak mengenal lagi tanaman/pepohonan lokal yang hidup masa lalu.
Begitu pula, generasi urang Banjar Kalsel di perantuan, apalagi tidak/belum pernah menengok kampung leluhur, bukan hal yang aneh jika mereka juga tak mengenal tanaman/pepohonan lokal Kalsel.
Beragam tanaman/pepohonan lokal dari berbagai jenis atau kelompok hortikultura, seperti asam-asaman (sejenis keluarga mangga), famili durian, dan famili graminy (termasuk padi-padian dan tebu-tebuan).
Kelangkaan itu, antara lain, karena perambahan hutan dan aktivis pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang melakukan tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan hidup lainnya, serta hampir tidak ada budi daya/pemuliaan jenis tanaman pepohonan tersebut.
Selain itu, pengaruh globalisasi dan faktor lain, seperti perubahan musim yang sulit diprediksi seiring dengan berubahnya ozon serta serangan hama dan penyakit tanaman sehingga tanaman/pepohonan tersebut mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Tanaman/pepohonan lokal Kalsel yang mengalami kelangkaan atau terancam punah itu bukan cuma belasan jenis, tetapi bisa mencapai puluhan jika tidak ada budidaya atau pemuliaan kembali.
Anggota DPRD Provinsi Kalsel berharap tanaman/pepohonan lokal provinsi setempat yang sudah langka tersebut jangan sampai punah karena merupakan kekayaan sumber daya hayati.
Harapan anggota DPRD provinsi itu, antara lain, dari Suwardi Sarlan asal Daerah Pemilihan (Dapil) Kalsel V (Kabupaten Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Kabupaten Tabalong) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Selain itu, anggota Komisi III DPRD Provinsi Kalsel yang juga membidangi lingkungan hidup, Riswandi dari Pertai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Dapil Kalsel IV (Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah).
Kedua wakil rakyat "Banua Anam" Kalsel yang melputi Tapin, HSS, HST, HSU, Balangan, dan Tabalong itu berharap agar Kebun Raya Banua mengambil peran dalam melestarikan tanaman/pepohonan lokal yang langka atau terancam punah tersebut.
Walau mungkin di seantero Kalsel tanaman/pepohonan lokal tersebut sudah tiada, Kebun Raya Banua di Banjarbaru (35 kilometer utara Banjarmasin) masih ada sehingga generasi urang Banjar dan orang lain pun akan bisa mengenal, kata anggota legislatif itu.
Asam-Asaman
Tanaman/pohon lokal Kalsel berupa asam-asaman, buah-buahan yang masuk keluarga mangga yang bentuk dan rasa yang berbeda pada tempo dahulu (hingga 1960-an) tercatat sekurangnya 11 jenis. Kini, di antaranya sudah langka.
Buah asam-asaman lokal Kalsel tersebut, yaitu asam hurang, asam pauh, rawa-rawa, landur, kasturi (manggo fera delmy) hambawang (embacang), hambawang putaran, tandui, kulipisan/asam buluh, kuini, dan hampalam (empalam).
Dari 11 jenis pohon asam-asaman lokal Kalsel yang kini terkadang masih terlihat buahnya kendati sulit menemukan di pasaran, antara lain, hambawang dan hambawang putaran serta tandui yang terancam punah karena pertumbuhan yang kurang.
Memang hampalam ada semacam pengganti, yaitu mangga empalam, tetapi tidak sama dengan buah hampalam tempo dahulu yang ketika masak aromanya jauh lebih harum dari mangga empalam.
Sejumlah asam-asaman lokal Kalsel tersebut yang paling terasa asam, yaitu buah tandui, walaupun sudah terlampau masah (ranum), sementara jenis asam-asaman lain kalau sudah ranum masih ada terasa manis/manis kecut.
Asam-asaman lokal Kalsel itu juga hampir semua tumbuh dan berkembang di dataran tinggi atau kawasan pegunungan.
Oleh karena itu, ada pepatah "asam di gunung, garam di laut bertemu dalam belanga" dan pepatah ini bukan cuma banyak yang lupa, melainkan juga tidak mengetahui.
Padi
Petani Kalsel tempo dahulu, seperti di daerah hulu sungai atau "Banua Anam" provinsi tersebut, banyak mengenal varietas padi lokal yang musim tanam atau masa panen sekali dalam setahun.
Beberapa varietas padi lokal Kalsel di daerah pahuluan (Banua Anam) untuk lahan basah/sawah, antara lain, jenis pandak, pandak landu, marampiau, siam, dan lahan kering (tugal/tegalan) si buyung.
Selain itu, jenis ketan (lakatan), antara lain, ketan biasa, ketan marampiau, dan ketan hitam.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan teknologi pertanian, petani Banua Anam Kalsel mulai meninggalkan varietas lokal dan beralih menggunakan varietas unggul baru (VUB) sejak 1970-an yang bisa memperpendek masa tunggu panen, yaitu PB5 dan PB8.
Beberapa tahun belakangan petani hulu sungai Kalsel, PB5 dan PB8 sudah lama mereka tinggalkan, berganti dengan varietas terbaru, antara lain, IR 42, Ciherang, Kaboijo yang bisa panen dua kali dalam setahun dengan tingkat produktivitas lebih tinggi lagi.
Di samping itu, di daerah Banjar kuala, seperti pertani Kabupaten Barito Kuala (Batola), Tanah Laut (Tala), dan Kabupaten Banjar masih banyak menggunakan varietas lokal yang masa panen tetap sekali dalam setahun, antara lain, siam unus, siam mayang, siam mutiara, dan karandukuh.
Menghilangnya atau tak digunakan lagi varietas lokal di daerah hulu sungai Kalsel karena, antara lain, rentan/mudah serangan hama dan penyakit, serta tingkat produktivitas rendah bila dibandingkan dengan VUB.
Tebu
Begitu pula Kalsel tempo dahulu, terutama di daerah Banua Anam, terdapat banyak jenis tebu (manisan, sebutan urang daerah hulu sungai), antara lain, manisan habang (merah) biasa dan manisan habang gasan (buat) pengobatan orang berak darah.
Manisan kuning (kulit batangnya berwarna kuning) dan manisan katingan (warna kulit/batangnya juga kuning) tetap rasa lebih manis dari manisan kuning biasa.
Selain itu, manisan batung/betung, yaitu batangnya besar berwarna agak kecokelat-cokelatan bercampur kehijau-hijauan, seperti bambu betung.
Sejumlah jenis manisan lokal Kalsel tersebut yang ada manisan kuning, manisan habang biasa, serta belakangan berkembang tanaman tebu gula seiring dengan keberadaan perkebunan besar tebu dan pabrik gula Pelaihari Tala pada tahun 1980-an.
Dari sejumlah tebu (bahasa daerah Banjar Kalsel menyebutnya tabu) ada satu jenis "tabu salah", yaitu tanaman tersebut bukan golongan tebu, melainkan batang menyerupai tebu. Itulah sebabnya disebut tabu salah karena memang bukan tebu.
Tetap tabu salah tersebut selain bisa bertahan lama dapat dijadikan "dadaian" (sampiran untuk menjemur pakaian), juga sebagian masyarakat Banjar Kalsel menganggap mempunyai "manna" (kekuatan gaib/magis), yaitu sebagai penangkal kejahatan.
Oleh sebab itu, ada yang meletakan tabu salah di atas pintu agar perbuatan jahat tidak bisa masuk rumah. Itulah keyakinan mereka. Wallahualam bissawab.
Tabu salah yang hingga 1960-an masih banyak ditemukan di Kalsel, dalam belakangan ini sulit mendapatkan, kecuali mungkin dengan komunitas masyarakat terasing (Suku Dayak), salah satu penduduk asli setempat.
Tanaman Lain
Selain buah durian khas Kalsel yang beberapa jenis telah tiada, juga banyak tanaman/pepohonan lokal yang langka dan terancam punah di "Bumi Perjuangan Pangeran Antasari" ini, antara lain, maritam (rambutan hutan) dan rukam (pohonya berduri).
Oleh karena itu, ada peribahasa daerah Banjar Kalsel, yaitu "naik di rukam turun di pinang". Pengertiannya naik sakit turun enak atau seperti pantun dalam bahasa Indonesia; berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Kemudian pohon pinang sindawar (bentuk pohon seperti pinang, tetapi buah terasa asam bisa dipancuk/dibuat rujak), blangkasua/jinalon, dan buah baramban, serta jitaan (pohonnya merambat, buahnya berwarna oren, dan rasanya asam-manis).
Khusus keluarga durian Kalsel yang terancam punah, antara lain, lahung (berwarna merah), maharawin atau dengan sebutan raja durian hutan, membukanya sulit namun rasa sangat manis.
Masih banyak lagi tanaman/pepohonan lokal Kalsel langka dan terancam punah yang jika ada pembudidayaan bisa bernilai ekonomi tinggi karena khasiat atau kemanfaatannya, seperti rotan (paikat, sebutan masyarakat Banjar Kalsel) dengan berbagai jenis keluarga tanaman merambat itu.
Oleh karena itu, buah paikat dan "walatung" (termasuk keluarga rotan, tetapi berbatang besar) belakangan ini hampir tak pernah menemukan sebab belum berbuah sudah "dipagat" (dipotong).
Seperti pada daerah tertentu, umbut (rebung/batang yang masih muda) walatung menjadi salah satu menu khas (berupa gulai) dalam menyuguhi tamu ketika jamuan makan.
Oleh sebab itu, secara berkelakar, tamu mendapat suguhan "makan kursi", memakan umbut walatung karena tanaman tersebut sebagai bahan baku membuat kursi.
Padahal, menurut orang-orang tua tempo dahulu, buah paikat/walatung yang rasanya sepat (kalat) manis itu dapat untuk pengobatan mag dan kencing manis (gula darah).
Begitu pula umbut walatung, konon sebagai obat sakit pinggang. Sakit pingging di sini bukan karena sesuatu, melainkan secara alami.
Menguak Tanaman Lokal Kalsel Yang Mulai Langka
Senin, 20 November 2017 6:50 WIB