Ekspedisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito telah usai dilaksanakan selama empat hari yang dilakukan oleh kelompok pecinta lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) serta Balai Wilayah Sungai (BWS) II dan peneliti melakukan observasi terhadap kondisi sungai terpanjang di Kalimantan Selatan tersebut.
Selain melakukan pengamatan dan pengambilan sampel air dari DAS Barito bagian hilir hingga hulu, tim ekspedisi juga memantau daerah aliran sungai yang terkait langsung dengan sungai Barito. Anak–anak sungai, sumber mata air yang bermuara ke sungai Barito turut menjadi titik fokus dalam ekspedisi ini.
Perjalanan sejauh 500 km lebih dari Banjarmasin menuju Puruk Cahu telah dilakukan untuk melihat kondisi Sungai Barito yang berhulu di lembah Pegunungan Muller dan bermuara di Laut jawa ini.
Sungai dengan panjang 909 kilometer yang mempunyai enam anak sungai utama ini mempunyai lebar rata-rata sepanjang 600-800 meter. Sungai Barito memegang peranan besar dalam peradaban masyarakat banua, baik dari segi kebudayaan, keagamaan, hingga perekonomian. Perannya sebagai tol perairan tentu tidak dapat digerus oleh kamajuan zaman.
Namun sangat disayangkan, keadaan Sungai Barito sudah tidak sejaya masa lalunya. Deforestasi kawasan sempadan sungai, abrasi, pendangkalan, pencemaran hingga hilangnya kawasan penyangga dan penampung air Sungai Barito sudah mencapai ambang batasnya.
"Selain kondisi perairannya, tim kami juga melakukan observasi pada indikator-indikator lain yang turut mempengaruhi kondisi sungai itu sendiri. Kondisi hutan, kenanekaragaman hayatinya, hingga kehidupan masyarakat bataran sungai juga turut kami kaji" ujar Ketua Ekspedisi DAS Barito 2017, Mohammad ARY.
Hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan sungai barito saat ini sedang kritis. Sampah, cemaran dari kegiatan industri dan pertambangan diduga menjadi penyebab memburuknya kondisi sungai barito.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada aliran utama sungai barito, melainkan sudah terjadi pada anak-anak sungai hingga sumber-sumber air yang mengairi Sungai Barito itu sendiri.
Titik pengambilan sampel pada sungai Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan, Hantakan, Sungai Mahe dan beberapa sungai lainnya sepanjang Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah yang menunjukkan hasil yang mencengangkan.
"Kondisi keadaan air sungai yang berwarna keruh pekat, berbau amis, hingga rasa yang telah berubah merupakan indikasi utama bahwa sungai-sungai tersebut sudah tercemar," kata Mohammad ARY.
"Tentunya hal ini akan kami kuatkan dengan hasil laboratorium dari sampel-sampel air yang telah kami kumpulkan pada setiap titik pengamatanâ€, tandas Ferry Hoesain selaku penanggung jawab tim ekspedisi menjelaskan keadaan Sungai Barito yang telah memprihatinkan.
"Tak luput kami juga menghimpun berbagai data dari pemerintah daerah terkait mengenai hasil pemantauan rutin mereka terhadap kualitas air DAS barito, kami harap ini akan menjadi satu kesatuan data yang mendukung temuan kami di lapangan" tambahnya lagi.
Selain sampel air dan kondisi kawasan sempadan sungai, data mengenai indikator biologis lingkungan darat dan perairan juga merupakan data utama yang dikumpulkan oleh tim peneliti. Dalam penentuan standar baku mutu dan kualitas air yang diperoleh dari sungai, terdapat setidaknya tiga indikator utama yang harus dikumpulkan, yaitu kondisi fisik, kimiawi dan biologis.
Untuk indikator fisik dan kimiawi dapat diacu berdasarkan standar baku mutu yang telah ada, sedangkan pemantauan terhadap indikator biologis harus dilakukan dengan prosedur yang berbeda.
"Indikator biologis yang terkait dengan sungai tentu sangat banyak sehingga memerlukan fokus dan waktu yang cukup lama. Pemantauan keadaan lingkungan, seperti keadaan vegetasi, flora dan fauna yang ada disekitar kawasan DAS terlebih yang menjadi bioindikator pencemaran harus diamati sedetail mungkin" jelas Zainudin Peneliti Muda Biodiversitas Indonesia yang juga tergabung dalam tim ekpedisi.
"Spesies bioindikator inilah yang dapat memberikan penjelasan kepada kita mengenai hasil pengukuran indikator fisik dan kimiawi lingkungan perairan yang telah diperoleh sebelumnya" ujarnya menerangkan.
Sungai yang sehat tentunya tidak terlepas pengaruhnya dari lingkungan dan keadaan ekosistem disekitarnya. Sampai saat ini kondisi sungai yang tercemar tidak bisa dilepaskan oleh kegiatan manusia.
Bahkan dapat dikatakan kondisi cemaran akan bertambah tinggi seiring dengan dekatnya sungai tersebut dengan pemukiman. Sebagai pengguna nomer satu masyarakat tentunya harus sadar bahwa menurunnya kualitas air yang mereka gunakan tidak terlepas dari kebiasaan buruk mereka dalam mengolah lingkungan.
Masyarakat tentunya harus faham betul tentang betapa pentingnya peran sungai terhadap kehidupan. Dengan demikian pencemaran yang dapat memperburuk kondisi sungai dapat diminimalisir.
Peran masyarakat menjadi penentu utama dalam memperbaiki dan menjaga sungai. Sungai sebagai nadi kehidupan, jalur perkembangan peradaban, dan bukti kemajuan zaman harus menjadi nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam menumbuhkan kepeduliannya terhadap kelestarian sungai.
Usaha Ekonomi
Dalam perjalanan lima hari tim Melingai dan BWS yang tercatat 10 orang tersebut menyempatkan beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung Raya (Mura) Kalimantan Tengah, Pujo Sarwono.
Dalam pengakuannya kepada tim bahwa Sungai Barito terutama bagian hulu sekarang sudah "sekarat" karena banyaknya digunakan oleh masyarakat untuk tempat usaha ekonomi, seperti pertambangan pasir serta pertambangan emas.
Jalur Sungai Barito Jarak antara Puruk Cahu-Sungai Kunyit dalam perjalanan sekitar tiga jam menggunakan spead boat ditemukan tak kurang dari seribu usaha ekonomi rakyat yang mengandalkan sungai tersebut.
Menurut Pujo Sarwono dengan adanya usaha ekonomi rakyat tersebut tentu telah merusak kondisi air Sungai Barito karena pasti terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalam usaha pertambangan, seperti mercuri.
Kondisi itu terjadi lantaran masyarakat menilai lebih menguntungkan usaha di sungai ketimbang di darat dalam upaya mencari sesuap nasi.
Masalah usaha rakyat hanya peladang berpindah, sementara pemerintah melarang mereka membakar lahan, sementara menyadap karet belakangan hargta komoditi itu terus turun tak mencukupi kebutuhan.
Mencari kayu pun akan bermasalah dengan hukum, akibatnya mereka lari ke sungai dan "menguyak-nguyak" dasar sungai untuk mencari butiran emas.
Padahal solusinya, kata Pujo tumbuhkanlah usaha rakyat di darat, umpamanya saja jika mereka dilarang berladang berpindah, maka cetaklah persawahan lahan kering di kawasan tersebut, sepertin yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Karena di lokasi ini hanya ada lahan kering tak ada lahan basah yang bisa diolah pertanian, padahal perhitungannya takmahal hanya sekitar rp25 juta per hektare dalam upaya mencetak sawah lahan kering tersebut.
"Saya yakin jika usaha ekonomi rakyat di darat seperti bertani lahan kering ini berkembang mereka tidak akan terjun ke sungai untuk mencari sesuap nasi, akhirnya sungai bisa terpelihara," kata Pujo Sarwono.
Dalam kegiatan yang bertajuk "Ekspedisi Susur Sungai 2017" tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh sepuluh anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi. Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni, terus di Puruk Cahu.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.