Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Komisi II Bidang Ekonomi dan Keuangan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang juga membidangi pertanian dalam pengertian luas, Firman Yusi mengemukakan konsep korporasi petani berdasarkan prinsip syari'ah.
"Saya kemukakan konsep korporasi petani berdasarkan prinsip syari'ah berkaitan misi ketiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalsel 2025-2029," ujar Firman Yusi yang juga Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD provinsi setempat ketika dikonfirmasi, Sabtu.
Wakil rakyat asal daerah pemilihan Kalsel V/Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan dan Kabupaten Tabalong itu menerangkan, bahwa misi ketiga RPJMD 2025-2029; "Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan, Merata dan Syariah".
"Sedikit catatan ulun (saya) terkait ikhtiar mensejahterakan petani melalui konsep korporasi petani berlandaskan prinsip syariah di Kalsel: Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat Berkelanjutan," ujar wakil rakyat kelahiran "kota minyak" Tanjung (237 km utara Banjarmasin) ibukota Tabalong itu.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode itu, pertanian masih menjadi salah satu tulang punggung perekonomian provinsinya yang kini berpenduduk lebih empat juta jiwa tersebar pada 13 kabupaten/kota, terutama di wilayah pedesaan yang didominasi oleh petani kecil dan tradisional.
"Namun, tantangan seperti akses pasar, permodalan, ketergantungan terhadap tengkulak, hingga rendahnya nilai tambah produk pertanian, menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan. Dalam konteks inilah, korporasi petani berbasis syariah hadir sebagai solusi inovatif sekaligus Islami untuk menjawab problematika struktural pertanian di daerah ini," lanjutnya.
Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang berkampus di Banjarbaru tersebut mengatakan, apa itu korporasi petani berbasis syari'ah?
Menurut dia, korporasi petani berbasis syari'ah merupakan model kelembagaan ekonomi tani yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dalam seluruh aktivitas bisnis dan organisasinya.
"Tidak hanya berorientasi pada profit, korporasi ini juga menekankan keadilan, transparansi, kebersamaan, dan keberkahan. Sistem keuangannya tidak menggunakan riba, menghindari gharar (ketidakjelasan), dan spekulasi, serta menerapkan prinsip bagi hasil (musyarakah atau mudharabah)," jelas Firman Yusi.
Ia menambahkan, dalam praktiknya, korporasi berbasis syari'ah bisa berbentuk koperasi syariah petani, Badsn Usaha Milik Desa (BUMDes) Syariah, atau lembaga usaha tani yang menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan mikro syariah, pesantren agribisnis, dan pasar halal domestik maupun ekspor.
Urgensi korporasi petani berbasis syari'ah di Kalsel, lanjut Firman, provinsinya memiliki potensi pertanian yang besar, mulai dari komoditas pangan (padi, jagung), hortikultura, hingga perkebunan rakyat seperti karet dan kelapa sawit.
"Namun, petani umumnya masih menjual produk dalam bentuk mentah dengan harga murah. Model korporasi syariah memberikan ruang agar petani tidak hanya sebagai produsen bahan baku, tetapi naik kelas sebagai pelaku industri pertanian (agribisnis)," tambah pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Putr Putri Saraba Kawa (Pusaka) Tabalong itu.
Saraba Kawa motto daerah Tabalong - kabupaten paling utara Kalsel berbatasan dengan Kalimantan Timur (Kaltim) yang menjadi tempat Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) terutama yang berada di hulu daerah aliran sungai (DAS) Barito.

Di sisi lain, tambah Furman Yusi, masyarakat Kalsel yang mayoritas Muslim juga sangat mendukung sistem ekonomi yang sesuai prinsip syariah. Oleh karena itu, model ini bukan hanya rasional secara ekonomi, tetapi juga kuat secara kultural dan spiritual.
Ia menjelaskan, prinsip dan mekanisme kerja korporasi berbasis syari'ah tersebut antara lain kepemilikan kolektif petani: Petani menjadi anggota dan pemilik usaha, bukan sekadar mitra kerja. Begitu pula produksi hingga pemasaran terintegrasi; mulai dari penyediaan benih, pupuk, teknologi pertanian, hingga pengolahan hasil dan distribusi ke pasar.
Selain itu, pendanaan syari'ah; mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan syariah dengan akad murabahah, ijarah, atau qardhul hasan. Sedangkan distribusi keuntungan yang adil berdasarkan kontribusi modal dan kerja tanpa praktik rente.
"Kemudian kemitraan dengan ekosistem halal; termasuk pengolahan produk bersertifikasi halal, pemasaran di pasar Muslim, hingga ekspor ke negara-negara Islam," demikian Firman Yusi.
