"Pasalnya su'udzan dengan orang bisa membuat dosa. Tapi yang jelas pahala amal kebaikan orang husnuzan itu akan berkurang atau beralih kepada orang yang disangka buruk tersebut," ujarnya.
Pernyataan Ustadz Saiful itu dalam kajian "Sifat 20 " atau tarekat "Asy'ariyah" pada sifat "Sami'un" (Maha Tahu/Mengetahui) yang merupakan sifat ke-18 dari Allah SWT.
Ia mencontohkan sikap su'udzan terhadap seseorang yang mencuri susu bayi di pertokoan swalayan, jangan sangka negatif, tapi tetap berbaik sangka atau "husnuzan" (sangka positif).
"Sebab tidak mustahil pencuri itu lagi tidak punya duit, sedangkan anaknya yang masih bayi membutuhkan susu," ujar Ustadz Saiful.
Contoh lain. orang yang berutang, tapi "mucil" (bandel) tetap jangan su'udzan atau harus husnuzan, sebab yang bersangkutan tidak mustahil mau membayar utang namun ada masalah yang belum bisa dia atasi.
"Karena Allah Maha Tahu atau Maha Mengetahui yang tidak terbatas seperti tahunya manusia," ujar Ustadz Saiful yang mengisi pengajian rutin Sifat 20 di Masjid Assa'adah tersebut setiap Selasa subuh.
Ia menambahkan, bahwa seseorang yang selalu atau senang melihat keaiban/keburukan orang sama dengan tidak Allah sayangi.
Pada kesempatan itu, Ustadz Saiful juga menyinggung masalah "ghibah" (membicarakan kejelekan atau aib orang lain) yang dapat menimbulkan dosa serta pahala kebaikan orang menghibah berpindah kepada orang yang dia ghibah.
"Namun ada ghibah-ghibah yang Allah benarkan seperti termuat dalam Al Qur'an yaitu tentang Fir'aun, Karun dan Abu Lahan," ungkapnya.
Oleh sebab itu Ustadz Saiful menyarankan, sebaiknya memandang orang (keburukan atau kebaikan) dengan hakekat, dan terhadap diri) keluarga sendiri dengan syariat.
"Pengertian memandang dengan hakekat yaitu mendoakan orang agar mendapat hidayah dari Allah SWT. Sedangkan memandang dengan syariat, berusaha agar diri/keluarga sendiri terhindar dari perbuatan jelek," demikian Ustadz Saiful Anshari.