Barabai (ANTARA) - Sebuah euforia, genap usia 77 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi, kondisi ketimpangan pendidikan di Dusun Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, yang masuk kawasan Pegunungan Meratus masih jauh dari kata merdeka.
Bagaimana tidak, masih terdapat 75 persen kasus buta aksara di lokasi itu. Jumlah penduduk desa tersebut tahun 2022 tercatat ada 61 kepala keluarga (kk) dengan 203 jiwa.
"Bukan kami yang terlambat sekolah, akan tetapi sekolah yang terlambat masuk," ungkap Apit, warga setempat saat kegiatan ekspedisi dan gotong-royong pendidikan oleh Komunitas Akar Bukit beberapa waktu yang lalu.
Ungkapan itu, berulang kali terdengar dari para warga setempat. Mereka menaruh harapan besar kepada anak-anak untuk dapat mengeyam pendidikan yang layak.
Bukan sekadar drama dengan membandingkan film Laskar Pelangi. Menurut warga, kondisi di Mangga Jaya jauh lebih parah dari keadaan di film itu.
Juni 2021 pendidikan baru masuk di Dusun Mangga Jaya dengan bentuk masih non formal berupa pendidikan alternatif Paket A. Itu pun sempat vakum beberapa bulan, karena dua tutor sebelumnya kurang aktif.
Di akhir 2021 hingga berjalan delapan bulan, sekarang baru aktif lagi diisi oleh dua tutor baru dari desa tetangga, Desa Batu Perahu. Nurdin dan Uncit Kesuma namanya, motivasi mereka belajar dan berbagi untuk masyarakat. Maklum, secara rata-rata masih ada ikatan keluarga antar mereka dengan masyarakat setempat.
Para peserta didik pun sangat beragam. Anak-anak, dewasa, hingga orang tua turut bersekolah di sana. Kurikulum yang diterapkan pun membaca, menulis, menghitung (calistung), terlepas dari kurikulum 2013 atau merdeka belajar yang diluncurkan pemerintah.
"Pendidikan masih belum merdeka, karena masih belum formal, bangunan sekolah belum ada, ATK minim, dukungannya belum dapat dirasakan masyarakat. Mudah-mudahan pemerintah dapat memperhatikan," ucap Nurdin.
Tak ayal, ketiadaan bangunan sekolah membuat mereka melangsungkannya di Balai Adat. Pada saat berlangsung aruh ganal (acara suci), mereka terkadang harus numpang di rumah warga atau di luar ruangan untuk kegiatan pembelajaran.
Sebanyak 22 peserta didik yang aktif belajar di Pendidikan Paket A itu, semangat belajarnya pun begitu tinggi bagai barang mewah yang baru bisa dirasakan oleh warga.
Siang, sore, hingga malam silih berganti para peserta didik mendatangi guru untuk belajar membaca, menulis, berhitung, serta beragam wawasan umum ingin mereka pelajari.
"Walaupun jam mengajar biasanya pagi hingga siang, tetapi kapan pun mereka datang untuk belajar selalu kami layani," jelas Uncit Kesuma.
Sesuai kesepakatan, Nurdin dan Uncit mengajar selama 15 hari dalam sebulan di Mangga Jaya itu. Sedangkan 15 harinya mereka libur untuk kembali ke keluarga di Batu Perahu, serta mengurus kebun dan ladangnya masing-masing.
Kesepakatan itu dibuat dengan pertimbangan akses yang begitu jauh, yakni sekitar 73 kilometer dari pusat Kota Barabai bertepatan dengan perbatasan Kabupaten HST-Kotabaru.. Kemampuan mereka berjalan menuju Mangga Jaya memerlukan dua hari perjalanan melintasi hutan belantara Pegunungan Meratus. Sedangkan orang baru dan masih awam empat hari baru bisa sampai.
Tak ada akses transportasi yang bisa digunakan. Satu-satunya akses hanya menggunakan jalan setapak yang tak jarang bisa bertemu binatang-binatang buas, seperti ular, babi hutan, harimau, bahkan beruang pun masih ada berkeliaran.
"Takut itu pasti ada, tapi dituntut oleh keadaan. Selalu bawa parang untuk berjaga-jaga, apabila bertemu binatang buas," tambah Uncit.
Segala ketakutan itu mereka lawan dengan semangat berbagi untuk mencerdaskan anak bangsa sebagai generasi penerus masa depan Mangga Jaya.
Terkadang, dalam diskusi bersama peserta didik sering terdengar beragam cita-cita yang ingin mereka capai. Mulai dari guru, TNI, dokter, pembakal/kepala desa sering mereka lontarkan. Akan tetapi, mimpi itu masih menjadi misteri sebuah tanda tanya besar bagaimana akses mereka untuk mencapainya.
"Cita-citanya ingin jadi dokter," celoteh Raras (13), salah satu peserta didik.
Pendidikan Paket A yang berjalan pun masih angkatan pertama. Masih belum ada integrasi jelas kelanjutan jenjang pendidikan tersebut. Belum lagi terkait bea siswa, biaya hidup, dan beragam penunjang pendidikan ke depan masih tabu.
Pertanyaannya di manakah wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia saat ini?
Tak mau dikatakan pembiaran, Pemkab HST mengaku mengadakan pelayanan pendidikan di sana secara bertahap.
"Ini memang tidak semudah memeratakan pendidikan sebagaimana di wilayah yang terjangkau di daerah perkotaan," ujar Plt Kepala Dinas Pendidikan HST H M Anhar saat dikonfirmasi, Selasa (16/8).
Pemerintah mencontohkan dengan kehadiran filial seperti di Aing Bantai yang dianggap merupakan perluasan pelayanan pendidikan dari SD Batu Perahu. Semestinya hal itu menurut pemerintah menjadi apresiasi bagi warga di sana.
Sementara capaian itu disodorkan, para siswa dan warga setempat sering kali mengeluhkan terkait minimnya dukungan pendidikan, ATK, serta keaktifan guru yang jarang melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan pembelajaran.
Bicara anggaran, Kabupaten HST ini satu-satunya kabupaten/kota di Kalsel yang mempunyai status fiskalnya sangat rendah. Keadaan itu digambarkan Anhar kemampuan keuangan daerah yang tidak bisa disamakan dengan-daerah yang lain.
"Kita sementara masih mengharap dari pusat dana DAK untuk perbaikan infrastruktur. Kemudian, ini juga menjadi perhatian terkait pendidiknya," ucapnya.
Salah satu solusi yang pihaknya tawarkan adalah mendorong agar warga lokal ini mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka bisa kembali ke tempatnya untuk membangun desanya.
Keterbatasan finansial dan akses pendidikan masyarakat menjadi hambatan utama untuk dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Dorongan integrasi pembiayaan pun sangat diperlukan masyarakat untuk kejelasan akses tersebut.
Pemerintah mengklaim di tahun depan akan mengembangkan beasiswa yang lebih khusus, salah satunya adalah anak-anak yang ada di daerah 3T guna melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi serta penyediaan rumah singgah dan asrama di daerah bawah untuk mereka.
Terkait penuntasan kasus buta aksara, belum ada percepatan akselerasi yang dilakukan. Pihaknya mengandalkan pembuatan filial seperti halnya tadi untuk memutus mata rantai tersebut.
"Pendidikan ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah daerah, tetapi tanggungjawab semua. Pendidikan ini merupakan investasi, tidak bisa kita lakukan intervensinya hari ini maka besok langsung kelihatan hasilnya," timpalnya.
Di sisi lain pemerintah berharap tahapan ini menjadi suatu hal yang dapat dimaklumi. "Yang penting progresnya ada, progresnya jalan," tuturnya.
Mimpi yang menggantung. Hingga kini, warga Mangga Jaya masih menantikan realisasi pemerataan pendidikan yang seakan masih menjadi sebuah misteri.
Tulisan ini juga merupakan buah dari catatan Ekspedisi Gotong-royong Pendidikan yang digagas Komunitas Akar Bukit 2-12 Agustus 2022 menyalurkan segala bentuk kepedulian masyarakat untuk pendidikan di Pegunungan Meratus, Dusun Mangga Jaya, HST.
Pendidikan di Meratus masih belum 'merdeka'
Rabu, 17 Agustus 2022 12:54 WIB