Rantau (ANTARA) - Masyarakat desa di Kecamatan Bungur, Kalimantan Selatan mengadu ke DPRD Kabupaten Tapin terkait limbah batu bara di jalan angkutan yang merembes ke lahan mereka.
Ada sembilan warga yang menyampaikan permasalahannya ke Komisi III dan Dinas Lingkungan Hidup. Kamis, (25/11) di gedung DPRD Tapin.
Warga yang juga mewakili masyarakat lainnya itu meminta ganti rugi yang sesuai dari pihak PT Antang Gunung Meratus (AGM). Warga mengklaim limbah batu bara di jalan angkutan itu merugikan mereka.
Sudah enam kali mediasi di Polsek Bungur, harga yang ditawarkan perusahan dinilai tidak logis hingga tidak ada titik temu untuk permasalahan itu.
"Harga yang ditawarkan pihak perusahaan untuk pembebasan lahan saya Rp 15 ribu per meter. Harga tanah di desa dan penawaran Antang jauh berbeda," ujar Suriani, salah satu pengadu.
Setelah mendengarkan penjelasan masyarakat. Anggota dewan, mengharapkan pihak perusahan untuk segera menyelesaikan permasalah itu dengan adil.
"Aduan masyarakat ini akan kita proses. Nanti akan kita bawa pihak PT AGM dan masyarakat saat Banmus di bulan Desember. Kita jadwalkan dan kita fasilitasi," ujar Ketua Komisi III H Rujaidin Noor.
Tuntut lingkungan yang berkeadilan
Dalam pertemuan itu, anggota DPRD juga menyoal terkait permasalahan lingkungan di sepanjang jalan angkutan batu bara milik PT AGM.
Wakil Ketua Komisi III H Rian Jaya, mengatakan kepada Dinas Lingkungan Hidup Tapin untuk segera memastikan dampak dari limbah dan menindak perusahan yang melanggar ketentuan.
"Negara harus hadir terkait permasalahan lingkungan yang merugikan masyarakat. DLH harus memastikan aktivitas pertambangan sesuai dengan peraturan. Berikan masyarakat lingkungan yang berkeadilan," ujarnya, kritis.
Agus Syahbani, anggota dewan lainnya juga memberikan tekanan untuk DLH Tapin. Disampaikannya permasalahan serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Tapin.
"Misalnya juga ada di wilayah Desa Tatakan, bila kemarau kena debu dan musim hujan air jalan houling ke tanah warga. Hal ini perlu perhatian serius. Warga yang mengadu hari ini adalah contoh kecilnya," ujarnya.
Kepala DLH Tapin Nordin, mengatakan PT AGM yang merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kewenangannya adalah wilayah DLH Provinsi Kalsel.
Kendati demikian, DLH Tapin, dikatakannya, akan tetap ke lokasi para pengadu itu untuk memastikan apakah limbah itu masuk dalam kategori pencemaran.
"Secara empiris harus kita buktikan bahwa itu tercemar. Ada batasan baku mutu yang jadi patokannya," ujarnya.
Secara umum, dikatakannya, batu bara yang keluar dari bak angkutan dan akhirnya mengendap di tanah warga bisa disebut sebagai limbah.
Hal itu bukan kejadian pertama. Kasus serupa, limbah batu bara yang rembes ke tanah warga juga pernah ditemui di sepanjang jalan angkutan. Ada yang ke perkebunan dan sawah, katanya.
"Tetap kita lakukan pemantauan, tidak hanya Antang, pelaku usaha lainnya juga. Seluruhnya," tegasnya.
Sanksi
Pada dasarnya semua perusahan tambang batu bara mempunyai kewajiban untuk mengelola jalan angkutan. Kepala DLH Tapin Nordin, menjelaskan hal itu sesuai dengan ketentuan dalam dokumen yang ada.
Jelasnya, ketentuan yang mengatur itu, misalnya tertuang dalam Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelola Lingkungan (RPL), dan Rencana Pengelolaan Pemantauan Lingkungan (RPPL).
Bagaimana jika perusahan terbukti salah? "Ada sanksi. Bisa sanksi administrasi, bisa sanksi pidana," ujarnya.
Alternatif lain yang dipakai DLH Tapin, apabila terjadi permasalah antara perusahan dan masyarakat, yaitu melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
"Rata rata kita di luar pengadilan, dengan cara mediasi saja," ujarnya.
Baca juga: Walhi Kalsel soroti peristiwa tanah bergerak di Tapin
Baca juga: DLH Tapin belum bisa pastikan penyebab tanah bergerak yang hancurkan lahan pertanian
Baca juga: Jalan di Tapin Kalsel ambruk ke arah lubang tambang batu bara
Baca juga: Ekowisata Bekantan PT AGM di Kalsel raih penghargaan platinum dari ISDA 2021