Banjarmasin (ANTARA) - Bagi kesenian madihin mungkin sebagian besar warga suku Banjar di mana saja berada mengenal terhadap kesenian tersebut, karena bukan saja dimainkan di tanah Banjar (Kalsel) sendiri tetapi juga dimainkan di berbagai lokasi pemadaman orang Banjar seperti di Sumatera atau di Malaysia.
Tetapi sebagiaan besar warga tak tahu kalau madihin tersebut ternyata memiliki syarat syarat atau hukum yang harus dilengkapi setiap seni madihin yang dikenal sebagai madihin pakam.
Salah seorang yang masih tersisa yang menguasai madihin pakam ini adalah Pak Jumairi (63 tahun) warga Tabudarat, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Provinsi Kalimantan Selatan.
Pak jumairi yang merupakan pensiunan guru agama ini mengakui main madihin seharusnya tak boleh memainkan begitu saja, tetapi harus mengetahui pakam yang ada di kesenian tersebut, karena jika tak tahu pakamnya, sama saja seorang penyanyi tak mengenai not yang dimainkan.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada para pamadihinan (orang yang melakukan seni madihin) supaya belajar kepada orang yang bisa, supaya saat memainkan madihin tidak ditertawakan orang yang tahu tentang pakam seni tersebut.
Menurut ayah dari pemadihinan muda Said Jola ini, pakam madihin dimaksud adalah, madihin kalau boleh dirumuskan ada arkanul dan ada pula akamul yakni madihin itu ada rukun rukun madihin, dan ada hukum hukum madihin, artinya kada sembarangan saja.
Syaratnya seni madihin itu harus ada syair-syair dan harus ada musik, jika tak ada musik bisa saja seni itu hanya sebatas syair syair atau pantun, kata pak Jumairi yang pernah belajar seni madihin kepada beberapa orang pakar sebelumnya, diantaranya pak Sam'un.
Sementara musik itu yang biasa adalah menggunakan terbang ada istilah tertutup, ada pukulan terbuka, ada pukulan kaprakan, ada pukulan iringan, serta ada pukulan variasi, kata pak Jumairi di sela sela menghadiri aruh sastra di Balangan, beberapa hari lalu.
Dalam membuat syair itu lebih banyak syair nasehat, karena dalam bahasa Banjar seni ini adalah bapapadah (nasehat), sementara yang lain itu hanya ikutan saja termasuk syair syair yang lucu.
"Tapi kalau handak lucu dalam madihin itu gampang saja, cukup saat mengucapkan syair syair itu dipelesetkan atau disalahkan dikit biasa sudah banyak pendengar yang tertawa," tambahnya.
Madihin yang dikenal di tanah banjar ini konon berasal dari tanah Arab yang datang ke nusantara khususnya ke tanah Banjar beriringan dengan masuknya agama Islam, karena jangan heran jika madihin juga bernuansa syiar Islam.
Mengenai tokoh pamadihinan Kalsel sendiri yang diera tahun 60-an seperti ada nama Saiban, ada Nama Saniah, ada nama Hamdani, ada nama Yunan, sementara yang lainnya muncul belakangan, demikian Pak jumairi yang mengaku telah menurunkan seni ini ke anak cucunya.
Jumairi, pamadihinan pakam yang masih tersisa di tanah Banjar
Selasa, 16 November 2021 8:35 WIB