Jakarta (ANTARA) - Dua tahun kepemimpinan periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo kerap menggaungkan hilirisasi sumber daya alam (SDA) sebagai keniscayaan.
Deindustrialisasi dan perlambatan ekonomi yang terjadi pasca-commodity boom atau era tingginya harga dan permintaan komoditas SDA pada 2009-2014, seharusnya menjadi alarm bahwa Indonesia tak bisa selamanya bergantung pada ekspor bahan mentah.
Keseriusan untuk membangun hilirisasi juga sepatutnya menjadi koreksi kebijakan pemerintah yang kerap mengobral konsesi atas nama pembangunan pada beberapa dekade silam.
Indonesia patut mencerna pengalaman pahit Indonesia pascaera commodity boom berakhir. Ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah menyebabkan dorongan ekspor besar-besaran saat harga sedang tinggi. Padahal, harga komoditas selalu berfluktuasi.
Ketika harga komoditas jatuh, Indonesia kembali mengandalkan konsumsi rumah tangga untuk menopang perekonomian. SDA yang begitu melimpah menjadi tidak optimal karena Indonesia tak melakukan hilirisasi.
Alhasil, eksploitasi sumber daya alam yang telah dilakukan besar-besaran tidak menghasilkan nilai tambah, justru malah hanya meninggalkan kerusakan lingkungan bagi masyarakat sekitar di daerah penghasil sumber daya alam.
Perut Bumi yang telah dikeruk hanya menghasilkan barang mentah yang dijual murah ke negara lain. Ironisnya, barang mentah itu kemudian diolah di luar negeri menjadi barang bernilai yang kembali diimpor oleh Indonesia.
Hilirisasi yang terlambat dilakukan juga membuat elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja menurun. Ekspor bahan mentah bukanlah kegiatan ekonomi padat karya. Hal itu berbeda dengan hilirisasi industri yang mampu membuka jutaan lapangan kerja.
Presiden Jokowi pada 13 Oktober 2021 mengatakan Indonesia harus segera menghentikan ekspor bahan mentah. Jika SDA tambang hanya dijual dalam bentuk mentah, masyarakat Indonesia hanya berperan sebagai tukang gali.
Padahal, Indonesia memiliki kekayaan SDA yang sangat melimpah. Maka dari itu, ekspor bahan mentah harus dihentikan dan hilirisasi harus dilakukan besar-besaran.
"Kalau kita hanya tukang gali, kemudian kita kirim ke luar. Mereka buat smelter di sana, kemudian dijadikan barang setengah jadi atau barang jadi, kemudian kembali ke sini, kita beli, inilah yang sedikit demi sedikit, tahap demi setahap harus mulai kita hilangkan," kata Presiden.
Jokowi ingin hilirisasi gencar dilakukan dengan memanfaatkan alih teknologi, namun tetap bijaksana dalam memanfaatkan hasil alam. Berkaca dari rentetan era commodity boom, Indonesia harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini mengandalkan komoditas dan konsumsi, untuk masuk ke hilirisasi dan kemudian industrialisasi.
Jokowi mengaku tidak ingin Indonesia kehilangan kesempatan lagi untuk mengoptimalkan nilai tambah sumber daya alam setelah era booming minyak bumi pada 1970-an dan selanjutnya batu bara era 2000-an.
Oleh karena itu, dalam strategi besar bisnis negara yang disampaikan Jokowi, hilirisasi menjadi jalan yang ditujukan untuk keluar dari jebakan negara pengekspor bahan mentah, dan kemudian mempercepat revitalisasi industri pengolahan. Strategi besar lainnya adalah digitalisasi UMKM dan pengembangan ekonomi hijau.
Nilai tambah hilirisasi
Hilirisasi merupakan proses meningkatkan nilai tambah dengan mengolah atau memurnikan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau jadi. Nilai produk bahan mentah akan semakin meningkat jika mengalami proses hilir dibandingkan dijual dalam bentuk mentah.
Saat pemancangan fondasi (groundbreaking) pembangunan smelter milik PT Freeport Indonesia di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Selasa (12/10/2021), Jokowi telah memerintahkan swasta dan seluruh badan usaha milik negara (BUMN) sektor tambang untuk melakukan hilirisasi.
Hilirisasi juga memberi arti penting dalam rantai ekonomi, karena akan menghadirkan pemasok dan industri lain, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dan meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.
Adapun pembangunan smelter Freeport merupakan tindak lanjut dari langkah pemerintah dalam mengambilalih 51 persen saham perusahaan tambang raksasa asal AS, Freeport McMoran itu.
Selain Freeport, sejak kepemimpinannya pada 2014, Presiden Jokowi telah memimpin pengambil-alihan lapangan migas Blok Mahakam dari perusahaan Prancis, Total E&P untuk diberikan ke PT Pertamina (Persero) dan Blok Rokan dari Chevron untuk juga diberikan ke Pertamina.
"Nilai tambah yang maksimal untuk kepentingan nasional kita, untuk kepentingan dalam negeri kita, untuk kepentingan rakyat kita. Itulah mengapa kepemilikan beberapa perusahaan asing kita ambil alih," kata Presiden.
Smelter Freeport di Gresik, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memiliki kapasitas pengolahan 1,7 juta ton konsentrat per tahun dengan kemampuan produksi 600 ribu ton tembaga.
Saat ini, tembaga menjadi salah satu komoditas yang nilainya meningkat drastis karena mengalami super siklus (super cycle) di pasar global. Tembaga kini berada pada harga 9.400 dolar AS per ton.
"Investasi (smelter Freeport) Rp42 triliun atau 3,5 miliar dolar AS, revenue (penerimaan) hanya dari cooper (tembaga) saja itu 5,4 miliar dolar AS," kata Airlangga.
Smelter Freeport di Gresik juga akan memilki fasilitas hilirisasi tambahan pemurnian logam berharga (precious metal refinery) dengan nilai investasi 200 juta dolar AS.
Pabrik pengolahan tersebut akan mampu memproduksi 35 ton sampai 54 ton emas per tahun. Adapun saat ini, harga emas sekitar 1.700 dolar AS per troy ounce.
"Kalau produksi (emas) 35 ton, itu nilainya 1,8 miliar dolar AS. Jika produksinya 50 ton, itu sampai 2,7 miliar dolar AS. Jadi, bayangkan selama 40 tahun (sebelum ada smelter Freeport di Gresik), yang 2 miliar dolar AS itu rata-rata dinikmati negara lain, apakah 70 persen ke Spanyol maupun ke Jepang," kata Airlangga.
Tak hanya dari sektor pertambangan, Presiden Jokowi juga secara eksplisit mengungkapkan rencananya untuk menghentikan ekspor bahan mentah dari sektor pertanian.
Komoditas sawit, misalnya, diarahkan untuk diproses agar menghasilkan nilai tambah yang tinggi sehingga tidak hanya diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), melainkan mengarah pada barang jadi lainnya seperti mentega, kosmetik ataupun bahan bakar biodiesel.
Larangan ekspor CPO, diisyaratkan Jokowi, akan diberlakukan setelah larangan ekspor bauksit mentah.
Seruan Jokowi itu dikuatkan dengan perintah kepada jajaran menteri agar menyiapkan segala mitigasi untuk menghadapi konsekuensi hukum dan ekonomi jika Indonesia telah secara penuh menghentikan ekspor bahan mentah.
Kendaraan listrik
Upaya menghentikan ekspor bahan mentah sudah berjalan saat ini. Pemerintah menutup keran ekspor produk mineral sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Larangan ekspor mineral bijih nikel sudah diberlakukan pada 1 Januari 2020, sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Minerba. Larangan ekspor bijih nikel diberlakukan salah satunya untuk mendukung program kendaraan listrik.
Menurut data yang dipaparkan Jokowi, Indonesia memiliki 25 persen cadangan nikel di dunia dengan jumlah 21 juta ton. Sehingga, Indonesia mengontrol hampir 30 persen produksi nikel global. Kekayaan alam Indonesia menambah keyakinan untuk membangun industri kendaraan listrik beserta baterainya.
Bijih nikel akan diolah di dalam negeri untuk menghasilkan katoda baterai, besi antikarat dan juga baterai litium yang merupakan komponen kendaraan listrik. BUMN PT Karakatau Steel (Persero) Tbk yang telah mampu menghasilkan lembaran baja panas (hot strip mill) akan bermitra dengan industri otomotif untuk memproduksi badan mobil baru dan komponen mobil listrik.
Dengan begitu, Jokowi meyakini dalam 2-3 tahun ke depan, Indonesia sudah mampu memproduksi kendaraan listrik di dalam negeri.
Dengan berbagai tujuan tersebut, hilirisasi saat ini memang menjadi manifestasi penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Namun, hilirisasi diyakini masih akan menemui jalan terjal, karena pengolahan SDA mentah menjadi barang bernilai, membutuhkan teknologi dan investasi tinggi, termasuk dukungan politik.
Setidaknya Jokowi telah menentukan arah dan peta jalan kebijakan ekonomi untuk mengoreksi tata kelola SDA. Jika tidak dikelola dengan baik, kekayaan alam bisa menjadi bumerang yang mengakibatkan musibah dan ketidakadilan bagi masyarakat. Indonesia patut berharap hilirisasi tidak akan menjadi wacana yang timbul tenggelam tanpa jejak manfaat.