Barabai (ANTARA) - Sejumlah aktivis dari berbagai organisasi bersama 13 dari 30 anggota DPRD serta Perwakilan Pemkab Hulu Sungai Tengah (HST) menyatakan menolak adanya pertambangan di Bumi Murakata dan menggaungkan kembali Save Meratus.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan dan ditandatangi bersama saat Rapat kerja (Raker) gabungan di gedung DPRD setempat, Rabu (6/10) menanggapi masalah pembukaan lahan yang diduga untuk pembuatan jalan tambang batu bara di Batu Harang Desa Mangunang Seberang Kecamatan Haruyan.
Tindak lanjutnya, forum rapat yang dipimpin oleh Ketua DPRD HST H Rachmadi tersebut meminta Pemkab HST memanggil pengurus KUD Karya Nata untuk memberikan keterangan dan meminta agar Polres HST melakukan tindakan terhadap aktivitas KUD Karya Nata yang tidak mempunyai ijin ataupun dokumen lingkungan hidup karena sudah jelas ilegal.
"Kita secepatnya harus mengagendakan pertemuan kembali dengan Polres HST, Kodim 1002/HST dan kalau perlu dihadirkan pengurus KUD Karya Nata serta menyampaikan hasil pertemuan hari ini bahwa seluruh elemen masyarakat menolak adanya aktivitas pertambangan di HST," kata anggota DPRD, Yajid Fahmi.
Anggota DPRD HST lainnya dari dapil II (Kecamatan LAS dan Haruyan) H Taufiqurrahman menyebutkan, para tokoh masyarakat dan warga sekitar desa di dekat Batu Harang (Lokasi pembukaan lahan) seperti Mangunang Seberang, Hapulang, Haruyan Seberang, Teluk Masjid dan Sungai Jaranih juga menyatakan penolakan jika adanya penambangan batu bara.
Sejak KUD Karya Nata membuka lahan kembali di Batu Harang, menurut anggota DPRD dari fraksi Gerindra Salpian Riduan sudah banyak ditemukan kejanggalan dan ada indikasi besar di belakangnya.
"Kita lihat dari jejak digital KUD tersebut, sejak 2001 mulai stagnan dan kembali dihidupkan pada 2006 dengan adanya upaya pengurusan ijin kuasa pertambangan dan sempat digarap namun bermasalah dengan hukum hingga stagnan kembali. Namun setelah 15 Tahun tiba-tiba 2021 ini kembali muncul dan langsung membuka lahan, ini sebenarnya ada apa dan pasti ada rencana besar di belakangnya," kata Salpia.
Sedangkan Camat Haruyan, Chairiah mengungkapkan, tanggal 27 September, masyarakat ada yang melaporkan bahwa alat berat kembali naik ke Batu Harang dengan pengawalan oleh sejumlah orang. "Mereka yang membawa alat berat itu tidak lapor ke Kecamatan maupun perangkat desa yang dilalui," katanya.
"Tanggal 29 kami undang Pengurus KUD Karya Nata yang lama dan mereka menyatakan memang sudah tidak aktif lagi sejak 15 tahun yang lalu," katanya.
Ia juga menyebutkan, pembukaan lahan di Batu Harang tersebut tujuan akhirnya memang untuk ditambang. "Tanah seluas 100 hektar itu dimiliki oleh 99 orang dan 25 persen diantaranya sudah dikuasai oleh KUD Karya Nata," kata Camat.
Peneliti dan dosen dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Akbar Rahman saat berhadir juga menambahkan, jika masyarakatnya menolak tambang, maka berbagai cara lain akan dilakukan oleh para oknum tersebut.
"Salah satu motifnya adalah membelah kabupaten atau membuat kabupaten baru. "Karena kabupaten baru, maka membutuhkan anggaran yang besar untuk memulai pembangunan dan ujung-ujungnya penambangan dilakukan," kata arsitektur yang berbulan-bulan tinggal di HST membantu masyarakat pasca Banjir Januari lalu dengan memotori pembangunan Huntara.
Sedangkan, asisten Bidang Pemerintahan Ainur Rafiq menyatakan, Pemkab HST juga komitmen menolak adanya pertambangan di bumi murakata. "Kami juga telah menyurati Dinas ESDM Provinsi melaporkan adanya aktivitas pembukaan lahan yang diduga untuk jalan pertambangan batu bara," katanya.
"Komitmen penolakan tambang batu bara itu sudah lama termuat dalam RPJP dan RPJM dengan fokus pembangunan yang tidak merusak lingkungan," tegasnya.
Baca juga: Karyanata nyatakan memang pihaknya yang turunkan kembali alat berat di Batu Harang, DLHP: Itu ilegal
Baca juga: Pemkab HST surati Dinas ESDM Provinsi terkait pembukaan lahan di Batu Harang
Baca juga: Satgas pastikan peti batu bara Batu Harang tidak dilakukan PT AGM