Tanjung (ANTARA) - Senja itu, beberapa pemuda tengah berkumpul di rumah Harun, salah satu Balian pada komunitas adat Dayak Pitap di desa Ajung.
Mereka duduk melingkar dengan hikmat mengelilingi berbagai sajian persembahan. Suasana menjadi sedemikian sakral saat sang Balian membacakan mantra pada sajian persembahan.
Rupanya senja itu dilaksanakan acara Piduduk dan pemuda-pemuda tersebut adalah para peserta "belajar" penuturan ajaran Balian atau biasa disebut Balian muda.
Balian adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal.
Balian juga dapat bertugas memanggil sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawur dalam upacara adat tersebu
Salah satu lelaki muda yang ada dalam kegiatan itu adalah Parlihan, yang tak lain adalah anak bungsu Harun dan merupakan peserta termuda dari "sekolah" Balian tersebut.
"Acara Piduduk dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ketika sudah menyelesaikan materi yang dipelajari," ungkap Parlihan, sambil memperlihatkan foto hasil dokumentasi saat acara tersebut berlangsung.
Parlihan memang berusaha untuk mengabadikan setiap momen adat apapun yang terjadi di Desanya.
Hal ini ia lakukan bukan semata-mata karena ayahnya merupakan Balian, bukan pula karena ia mengenyam pendidikan formal paling tinggi diantara para peserta "sekolah" Balian lainnya.
Hal ini dilakukan semata-mata karena ia peduli dengan kampung halaman dan adat budaya nenek moyangnya.
Tak hanya terkait masalah adat, kepedulian Parlihan sangat besar pada hal-hal yang terkait kemajuan masyarakat.
Contohnya, saat Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan program Keaksaraan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil/Khusus 2020 di Komunitas Adat Dayak Pitap, Parlihan langsung menyambut dengan bersemangat.
Sebelum program berjalan, ia turun langsung mendampingi Yayasan Banua Cendikia yang menjadi pelaksana program untuk sosialisasi ke berbagai perangkat adat, perangkat desa dan anggota masyarakat secara umum agar mendukung pelaksanaan kegiatan.
Bersamaan dengan itu, ia menyatakan diri bergabung untuk menjadi salah satu tutor dari program tersebut dan kemudian memimpin tim untuk melakukan survey identifikasi warga buta aksara di desa Ajung.
"Kenapa kami orang-orang tuha ini masih harus belajar membaca dan menulis", menjadi pertanyaan yang paling sering dilontarkan.
"Dan kita harus menjelaskan pelan-pelan. Itu ditanyakan, karena kan kalau berhitung, semua orang di kampung pasti sudah pandai, biar tidak bisa baca-tulis tapi kalau berhitung semua pandai,” kisah Parlihan tentang pengalamannya saat sosialisasi program pada anggota masyarakat.
Sungguh bukan usaha yang mudah memastikan masyarakat tak lagi buta aksara, mengingat masyarakat desa Ajung terdiri dari sekitar 176 kepala keluarga tinggal menyebar berjauhan di wilayah dengan kontur yang berbukit-bukit.
Selama kurang lebih 1,5 bulan, Parlihan dan tim terus meyakinkan masyarakat hingga akhirnya target 100 warga belajar dapat tercapai di 3 Desa dan pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam setahun terakhir ini, setiap 2 malam dalam sepekan Parlihan akan berkendara sekitar 30 menit melalui jalan tanah yang terjal dan menanjak untuk mengajarkan membaca, menulis dan berhitung di wilayah Tempurau.
Segala kesulitan dan keterbatasan yang ada, tidak menyurutkan semangat dan kegigihan Parlihan.
"Meski materi yang diajarkan kadang-kadang lama pahamnya, tapi semangat warga untuk belajar membuat semangat saya juga tetap terjaga.” ujar Parlihan dengan senyum simpulnya.
Semangat untuk memperjuangkan masyarakat melek aksara, dan posisinya sebagai Balian muda mengantarkan Parlihan terpilih sebagai Tokoh Adat Penggerak Literasi 2020 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebuah penghargaan bergengsi, yang tidak hanya meningkatkan kebanggaan diri Parlihan dan masyarakat Desa Ajung saja, namun lebih jauh menjadi kebanggaan bagi Kabupaten Balangan dan Seluruh Kalimantan Selatan.
Namun, itu tak mengubah jati diri Parlihan sebagai pemuda Dayak Pitap dari Desa Ajung yang rendah hati dan tak banyak bicara.
Ya, seyogyanya Parlihan memang merupakan pemuda yang cenderung pendiam. Guru SD Kecil Libaru Sungkai Balangan ini tidak banyak bicara.
Namun, saat diajak berbincang tentang pelestarian adat dan tradisi, pendidikan dan kemajuan masyarakat, maka matanya akan berbinar dan senyumnya makin melebar.
Ia sangat terbuka dengan ide-ide, namun dalam pelaksanaan ide-ide tersebut, ia tetap berusaha menyesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masyarakat.
Sebagai contohnya yaitu “Sekolah” Balian yang diselenggarakan ayahnya. Pada awalnya, pembelajaran "sekolah" Balian hanya mengandalkan tuturan langsung, semua materi diajarkan secara lisan.
Saat ini pelan-pelan dan secara bertahap, Parlihan mulai menuliskan beberapa materi pembelajaran sebagai pegangan para Balian muda saat belajar.
Ia berharap, berkas materi ini tidak hanya sebagai pegangan belajar saja, tetapi sebagai arsip budaya masyarakat.
Saat ini, Parlihan sedang merintis Rungkuk Belajar, sebuah tempat yang diharapkan nantinya akan menjadi pusat informasi dan belajar masyarakat.
Sebuah pondok sederhana, yang dibangun di atas tanah pribadinya, sudah berdiri dengan bantuan dari PT. Adaro Indonesia.
Pun sejumlah buku anak dan dewasa, sebagian merupakan buku sumbangan, sudah siap diajak menggerakkan literasi masyarakat Desa Ajung.
Meski sederhana, masih serba terbatas dan pelan-pelan, ia berharap apa yang dilakukannya saat ini menjadi salah satu jalan untuk menguatkan jati diri masyarakat dan kemajuan pendidikan anak-anak di Desa Ajung. (Penulis, Tim Humas YABN : Yudi Febrianda).