Suku Dayak Banuaka' Taman di wilayah Kapuas Hulu Kalimantan Barat menggelar musyawarah adat salah satunya membahas dan merevisi hukum adat yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak di daerah setempat.
"Keberadaan hukum adat secara resmi diakui negara, tetapi penggunaannya terbatas pada pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945," kata Bupati Kapuas Hulu Fransiskus Diaan, saat membuka Musyawarah Adat Dayak Banuaka' Taman, di Putussibau Selatan Kapuas Hulu, Minggu.
Fransiskus menambahkan, dalam membuat aturan hukum tentu adanya jaminan kepastian hukum yang tidak tumpang tindih atau bermakna ganda dalam penerapannya serta harus dibuat lebih mendalam dan terinci tentang aturan perilaku dan jenis pelanggaran serta sanksi adat yang mengikat.
Apalagi Kabupaten Kapuas Hulu sebagai kabupaten penyanggah dan sangat sentral.
Menurut dia, sebagai perlintasan internasional, sehingga pembahasan hukum adat hendaknya benar-benar memikirkan hukum adat seperti pelestarian budaya dan penguatan hukum adat itu sendiri.
"Tujuan penyempurnaan atau revisi buku adat Banuaka' Taman adalah untuk diketahui keberadaannya di masyarakat dan diterima semua pihak dalam komunitas," ucap Fransiskus yang saat itu didampingi Wakil Bupati Kapuas Hulu Wahyudi Hidayat.
Sementara itu, Ketua Panitia pelaksana Musyawarah Adat Banuaka Taman Hermas Rintik menyebutkan musyawarah adat Dayak Taman itu dihadiri oleh empat ketemenggungan dari delapan desa.
Dia menjelaskan buku adat semenjak 13 tahun lalu dibuat baru pada Tahun 2021 akan direvisi kembali, kendati demikian musyawarah seperti ini bukanlah hal yang baru di Suku Taman Banuaka'.
"Ada istilah khusus, kami menyebutnya pasekuliang (mencocokkan). Disini semua lapisan masyarakat Taman berkumpul untuk mendiskusikan hal-hal tertentu untuk membahasnya," kata Hermas.