Kotabaru, (AntaranewsKalsel) - Pabrik biodiesel berkapasitas 10 ton per hari di Desa Telagasari, Kelumpang Hilir, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, mulai dioperasikan akhir 2015.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menegah dan Perindustrian Kotabaru Zainal Ariffin di Kotabaru, Minggu, mengatakan, pengoperasian pabrik biodiesel tinggal menunggu dua hal, pertama proses hibah dari pemerintah pusat ke daerah, dan penyempurnaan pabrik juga penambahan mesin yang memerlukan waktu lima sampai enam bulan.
"Mudah-mudahan proses hibah dari Kementerian Riset dan Teknologi ke Pemkab Kotabaru selesai Mei 2015, sehingga memorandum of understanding (MoU) antara pemerintah daerah dengan investor PT Bio Mitra Energi bisa dilakukan," terangnya.
Apabila MoU sudah bisa dilakukan, maka pihak investor akan melakukan penyempurnaan dan melengkapi pabrik untuk mendukung produksi biodiesel.
Zainal menjelaskan, dalam kerja sama tersebut investor berkewajiban untuk melakukan penyempurnaan dan penambahan pabrik pendukung, serta menyiapkan modal usaha yang nilainya sebesar Rp6 miliar.
Dana tersebut terdiri dari Rp4 miliar untuk penyempurnaan dan penambahan pabrik, serta Rp2 miliar untuk modal usaha pembelian bahan baku serta biaya operasional.
Sedangkan pabrik yang saat ini belum sempurna dinilai Rp3 miliar, dan gedung serta lahan lokasi pabrik dinilai sekitar Rp2 miliar lebih, sehingga totalnya sekitar Rp5 milia-Rp6 miliar.
"Pabrik di Telagasari dan gudang/bangunan serta lahan yang dinilai sekitar Rp6 miliar itu menjadi modal pemerintah daerah," tuturnya.
Rencananya, Pemkab Kotabaru yang menandatangani MoU dengan PT Bio Mitra Energi akan menunjuk operator pabrik yakni, Koperasi Gajah Mada yang berkedudukan di Desa Telagasari, Kecamatan kelumpang Hilir, Kotabaru.
Dia mengemukakan, pabrik biodiesel memiliki kapsitas produksi sekitar 10 ton biodiesel per hari dengan menggunakan bahan baku limba minyak sawit mentah atau crude palm oil sebanyak 10 ton per hari.
"Berbeda dari rencana awal, pabrik bantuan dari Kemenristek itu akan memproduksi biodiesel dengan menggunakan bahan baku CPO, tetapi kali ini dirubah dengan menggunakan bahan baku limbah CPO," paparnya.
Apabila menggunakan bahan baku CPO biodiesel yang dihasilkan tidak akan dapat bersaing di pasaran, karena biaya memproduksinya cukup mahal.
Akan tetapi dengan bahan baku limbah CPO, biodiesel yang dihasilkan dapat bersaing dengan solar yang disubsidi pemerintah, karena biaya produksinya rendah.
Diharapkan, biodiesel yang dihasilkan nanti dapat memenuhi kebutuhan usaha kecil mikro dan menengah serta nelayan di Kabupaten Kotabaru.
Sementara itu, pabrik biodiesel bantuan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Kementerian Riset dan Teknologi sekitar 2007 senilai Rp16 miliar, namun karena tidak dapat segera dioperasikan pabrik tersebut terjadi penyusutan sehingga saat ini dinilainya turun menjadi sekitar Rp3 miliar.
"Selain ada yang belum terpasang, banyak komponen pabrik yang karatan dan rusak, sehingga nilainya turun drastis. Penilaian tersebut dilakukan oleh pihak Kementerian Keuangan dan tim yang lainnya sebelum diserahkan ke Pemkab Kotabaru dan dikerjasamakan dengan pihak ketiga," terang dia.