Banjarmasin (ANTARA) - Sejumlah orang nampak antusias berfoto di depan patung maskot bekantan di Jalan Kapten Piere Tendean Banjarmasin pada Kamis (7/1) siang. Mereka mencari sisi terbaik agar patung setinggi 6,5 meter itu dapat terlihat secara penuh sebagai latar foto.
Ketika ANTARA menanyakan kepada beberapa warga yang tengah asik berfoto itu apakah mereka pernah melihat secara langsung sosok primata endemik Pulau Kalimantan tersebut, semuanya kompak menjawab tidak pernah.
Padahal semuanya warga asli Kota Banjarmasin yang mengaku ingin sekali melihat secara langsung "si monyet Belanda" berambut warna coklat kemerahan dan hidung panjang.
Ironis memang, warga lokal saja tidak bisa bertemu bekantan apalagi orang luar daerah yang tentunya berkeinginan juga melihat sosok bekantan ketika berkunjung ke Bumi Lambung Mangkurat.
Beberapa tahun silam, bekantan sempat menghuni Taman Maskot Banjarmasin di Jalan AS Musyafa samping Masjid Raya Sabilal Muhtadin yang berada di tengah kota. Di lokasi yang bisa disebut kebun binatang mini ini, bekantan dan beberapa satwa lainnya dapat dilihat pengunjung.
Namun, kini telah berubah konsep menjadi Taman Edukasi Banua Lalu Lintas. Sedangkan kebun binatang yang direlokasi ke Jalan Jahri Saleh Banjarmasin Utara hingga saat ini tidak banyak menarik kunjungan lantaran lokasi dan kondisinya tidak representatif.
Menurut Ketua Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) Amalia Rezeki, keberadaan patung maskot bekantan sangat bagus sebagai media pengetahuan dan pendidikan masyarakat terutama anak-anak mengenai sosok bekantan.
"Jadi ini, loh, satwa yang menjadi maskot Kalimantan Selatan. Kita harus bangga dan mengenalkannya kepada generasi penerus," kata Amel, sapaan akrab Amalia Rezeki.
Menyinggung keinginan banyak orang ingin melihat langsung sosok bekantan seperti di kebun binatang, menurut Amel, sejatinya kebun binatang baik untuk sarana edukasi juga. Namun begitu, pemeliharaan bekantan selama dalam kandang wajib diperhatikan agar tidak mengancam kehidupan si primata yang dikenal pemalu itu.
"Memang tidak ada kehidupan satwa sebaik di alam aslinya. Jadi, biarkanlah mereka hidup dan lestari di habitatnya," ucap Amel.
Konservasi bekantan
SBI yang berdiri sejak 2013 peduli dalam upaya konservasi bekantan yang kini diambang kepunahan dengan jumlahnya terus menyusut di alam baik di kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi alias alam liar.
Amel mengungkapkan, data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan tahun 2019 mencatat ada sekitar 2.400 ekor bekantan yang tersebar di provinsi itu. Dimana jumlahnya terus menurun hingga 50 persen dari tahun 2013 yang diperkirakan masih di kisaran 5.000 ekor.
Stasiun Riset Bekantan di Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menjadi pusat aktivitas SBI menjalankan lima programnya bekerja sama dengan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan BKSDA Kalimantan Selatan yaitu sosialisasi edukasi, rescue (penyelamatan), restorasi, penelitian serta ekowisata bekantan.
Adapun jumlah bekantan di Pulau Curiak yang terus dipantau kehidupannya saat ini 28 ekor, terus berkembang dari tahun 2016 yang hanya 14 ekor. Pulau Curiak berada tak jauh dari Pulau Bakut yang dikenal sebagai pulau di bawah Jembatan Barito, jembatan sepanjang 1.082 meter melintasi Sungai Barito akses jalan Trans Kalimantan dari Kalimantan Selatan ke Kalimantan Tengah.
Pulau Bakut satu dari beberapa kawasan konservasi bekantan yang dijaga kelestariannya oleh pemerintah dan terlarang bagi masyarakat mengambil dan memperjualbelikan satwa dilindungi yang ada di dalamnya.
Amel memaparkan, sosialisasi berisi kunjungan ke sekolah untuk mengedukasi generasi muda untuk mengetahui upaya konservasi sejak dini agar peduli terhadap pelestarian keberadaan bekantan.
"Kami ada sekolah konservasi dan pembentukan relawan juga. Anak-anak generasi muda inilah yang diharapkan terus menggelorakan penyelamatan bekantan dari kepunahan," kata dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP, ULM itu.
Untuk program penyelamatan meliputi rehabilitasi dan pelepasliaran bersama BKSDA Kalimantan Selatan. Tim SBI kerap menindaklanjuti laporan masyarakat terkait temuan bekantan yang menjadi korban kebakaran hutan ataupun korban kecelakaan dan lainnya, termasuk konflik dengan masyarakat.
Lestarikan habitatnya
Anggota Satgas Rescue SBI Ifan menuturkan, dirinya bersama tim harus siap siaga 1x24 jam kapan pun mendapatkan laporan masyarakat terkait keberadaan bekantan ataupun satwa dilindungi lainnya.
"Kami pernah selamatkan bekantan dari korban tabrak lari dan tersengat listrik. Alhamdulillah, dari sejumlah bekantan yang dievakuasi semuanya bisa selamat setelah menjalani perawatan di pusat rehabilitasi hingga akhirnya dilepasliarkan berdasarkan arahan BKSDA di 13 kawasan konservasi di Kalsel," ujarnya.
Ifan mengakui bekantan yang paling sulit penanganannya yaitu setelah diambil dari peliharaan warga. Dikarenakan pola makannya tidak lagi alami namun berubah seperti diberikan nasi oleh pemiliknya.
Dalam program restorasi, SBI terus melestarikan hutan bakau (mangrove) rambai sebagai habitat asli sekaligus makanan utama bekantan yaitu buah rambai. Menurut Amel, kunci utama menyelamatkan bekantan yaitu menyelamatkan habitatnya.
Sedangkan dalam kegiatan penelitian guna menentukan tindakan konservasi berdasarkan hasil penelitian. SBI juga membentuk Forum Bekantan Indonesia berisi kumpulan akademisi dan para peneliti yang ingin memetakan lebih jelas, lebih jauh dan lebih luas tentang populasi bekantan di Kalimantan.
Sementara pada program ekowisata bekantan, dirancang pariwisata berkelanjutan karena memuat kegiatan edukasi dan observasi.
"Jadi kami ingin masyarakat yang berminat mengetahui secara langsung sosok bekantan dapat melihatnya di habitat aslinya seperti di Pulau Curiak, Pulau Bakut dan pulau-pulau lainnya di sekitar aliran Sungai Barito bukan di kebun binatang," tutur Amel yang meraih
penghargaan internasional dari ASEAN Youth Eco-Champion (AYECA) kategori Pemuda oleh Menteri Lingkungan Jepang dan Menteri Pendidikan Kamboja tahun 2019.
Diakui dia, kegiatan konservasi mengalami tantangan dan kendala terutama pendanaan untuk penyediaan habitatnya. SBI pun melakukan penggalangan dana dengan beragam cara. Seperti penjualan cinderamata hingga bantuan pihak ketiga.
"Upaya konservasi merupakan tanggung jawab bersama. Kami apresiasi perhatian semua kalangan yang semakin meningkat terhadap keberadaan bekantan sebagai maskot Kalimantan Selatan yang ditetapkan tanggal 28 Maret 1990," ujar wanita yang tercatat sebagai mahasiswi Program S3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan ULM itu.
Meneliti genetika bekantan
Bekantan dengan nama ilmiah Nasalis larvatus merupakan primata endemik Kalimantan dan termasuk 1 dari 25 spesies prioritas yang harus dilindungi.
Perlindungan terhadap bekantan juga diperkuat dasar hukum Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Strategis dan rencana aksi konservasi bekantan.
SBI yang dikomando Amalia Rezeki pada tahun 2021 ini akan lebih intensif pada kegiatan penelitian sebagai dasar menentukan tindakan konservasi.
SBI sudah melakukan sebanyak 25 penelitian dari ragam bidang dan saat ini intensif ke arah genetika, bagaimana upaya perlindungan bekantan dengan meneliti genetikanya.
Bekantan tersebar hampir di seluruh bagian Pulau Kalimantan dan terpencar di semua propinsi serta wilayah Kalimantan lainnya seperti Sarawak Brunei, dan Sabah Malaysia.
Habitat bekantan cenderung mengalami degradasi sehingga memerlukan tindakan konservasi in-situ dan ex-situ yang memerlukan pemahaman terhadap identitas genetik kelompok bekantan beserta pakannya.
Selain itu, memahami pakan perlu mengaitkan dengan proses pencernaannya yang melibatkan mikrobiota gastrointestinal.
Karena itu perlu melakukan identifikasi genetik bekantan dengan metode yang non-invasif, mengetahui komposisi mikrobiota gastrointestinal bekantan dapat digunakan untuk menentukan ketepatan diet dan status kesehatan bekantan baik yang ada di penangkaran atau alam bebas.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sekuen DNA pada daerah D-loop dan sekuen DNA gen sitokrom mitokondria bekantan melalui feses bekantan yang ada di pusat rehabilitasi dan habitat alami.
Kemudian membentuk pohon filogeni kekerabatan bekantan berdasarkan sekuen DNA daerah D-Loop dan gen sitokrom.
Selanjutnya menganalisis keragaman atau komposisi mikrobiota gastrointestinal bekantan yang ada di pusat rehabilitasi dan habitat alami, dengan menggunakan metode metagenomik.
Dalam jangka panjang penelitian ini dapat digunakan dalam pengelolaan konservasi bekantan di lahan basah. Luaran wajib dari penelitian ini artikel ilmiah yang berisi hasil penelitian yang akan disampaikan pada seminar nasional dan internasional, artikel ilmiah yang akan dipublikasikan pada Jurnal Diversitas terindeks Scopus atau jurnal internasional lainnya, serta mendeposit sekuen DNA D-loop dan sitokrom mitokondria bekantan serta dekuen DNA mikrobiota gastrointestinal bekantan ke Genbank.
Mudah-mudahan dukungan dari semuanya ini menjadi sebuah sistem yang menyelamatkan bekantan. Karena menyelamatkan bekantan berarti menyelamatkan peradaban manusia.*