Banjarmasin (ANTARA) - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melalui Dinas Pendidikkan kota setempat merancang pelaksanaan sekolah tatap muka, menyusul kasus COVID-19 mulai menurun.
"Kami rencanakan awal November ini pelaksanaan sekolah tatap muka dimulai lagi di daerah zona hijau," ujar Kepala Dinas Pendidikkan Kota Banjarmasin Totok Agus Daryanto di Banjarmasin, Jumat.
Menurut dia, uji coba sekolah tatap muka pada November ini hanya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Kalau tingkat SD kami rencanakan pada awal tahun 2021," paparnya.
Menurut Totok, rancangan aturan main penerapan belajar tatap muka terbatas itu dinilai sudah memenuhi standar. Kendati demikian, masih perlu disetujui oleh Ketua Tim Gugus Tugas dalam hal ini Plt Wali Kota Banjarmasin, H Hermansyah.
"Ini belum final. Karena akan kita laporkan ke Plt Wali Kota. Jika disetujui maka akan ada surat edaran terkait uji coba berjenjang," terangnya.
Namun, belajar tatap muka terbatas ini tak serta-merta langsung bisa dilakukan di sekolah meski sudah direstui Gugus Tugas. Maklum ini bukan perihal gampang. Menyangkut keselamatan manusia.
Totok menjelaskan, kesiapan sekolah menjadi nomor satu. Ada prosedur terkait penerapan protokol kesehatan COVID-19 ketat yang harus dipenuhi sekolah sebelum melaksanakannya.
"Sekolah yang tatap muka harus melakukan prosedur. Diantaranya protokol kesehatan dan budaya sekolah. Contoh salaman dengan guru di tiadakan dulu. Karena tak boleh ada kontak fisik," katanya.
Penetapan ini pun bukan bersifat wajib. Sekali lagi yang menentukan adalah kesiapan sekolah. Pemkot tak akan mengeluarkan izin jika prosedur yang sudah ditentukan tak bisa dipenuhi.
"Prosesnya sekolah akan minta persetujuan, ke Disdik. Bukan kita yang nyuruh. Setelah syarat diverifikasi kalau sudah memenuhi baru izin dikeluarkan," ucap Totok.
Sebagai gambaran, penerapan protokol kesehatan COVID-19 di pembelajaran tatap muka terbatas diantaranya diatur terkait kapasitas jumlah siswa di kelas. Batas maksimal tampung hanya 18 siswa per rombongan belajar.
Untuk mengatasi keterbatasan ruangan, maka harus ada sistem shift. Alias bergantian. Setiap kelas bakal dibagi dua, separuh tatap muka terbatas, sisanya belajar jarak jauh (daring).
Kemudian untuk jam belajar juga lebih singkat dari normalnya. Di mana batas maksimal belajar di sekolah hanya empat jam pelajaran. Dengan satu kali istirahat. Siswa juga diwajibkan membawa bekal sendiri. Karena jajan di luar tak diperkenankan.
"Jam masuk tidak serentak. Agar tak ada penumpukan. Waktu belajar empat jam. Satu kali istirahat dan kantin tidak dibuka. Jadi harus bawa bekal masing-masing," jelasnya lagi.
Lantas apakah sudah ada sekolah yang menyatakan siap untuk penerapan ini? Jelas tidak ujar Totok. Sebab pihak sekolah juga masih perlu menjaring pendapat dari para orang tua siswa apakah mereka bersedia atau tidak jika anaknya kembali belajar di sekolah.
"Masih belum ada sekolah yang mengajukan. Karena sekolah juga perlu survei persetujuan orang tua. Nanti mereka membuat perjanjian melalui komite sekolah," ujarnya.